Friday, January 29, 2010

Cerpen : SULUR-SULUR KEHIDUPAN

‘Kau mencintaiku?’
‘Ya. Aku mencintaimu’
‘Maukah kau menikah denganku?’
‘…’
Dan di depan ruang tamu rumahmu kau bertanya padaku dengan nada berat, setelah kau juga menghela napas panjang. Sebagian tubuhmu kau angkat memberikan kesan penguatan atas pertanyaanmu. Sekilat matamu telah meluluhlantakkan pertahanan hatiku. Aku goyah, dan juga bimbang atas pertanyaanmu. Aku benar-benar membatu bisu di hamparan kata-katamu atasku.
‘Aaa…aaa…aku’
‘kenapa? Kau masih ragu dengan keputusanmu mencintaiku?’
‘Bukan begitu, aku tak tahu kenapa, aku belum berpikir kesana.’ (aku menjawab sebisanya)
‘Bukankah dirimu sendiri yang menginginkan hubungan kita lebih serius bukan?’
‘Iya, tapi …’
‘Tapi kenapa?’
‘Aaa…aaa…ku…’
Percayalah bukan dengan jalan ini kita menyelesaikan ujung pembicaraan ini. Aku tahu banyak tentangmu. Tapi belum cukup bagiku untuk mengerti pola pikirmu. Sepertinya selalu ada yang baru di kepalamu. Saling antri untuk keluar dan menjadi topik untuk dibicarakan. Hingga sering kita harus berpanjang-panjang membahas masalah kecil yang seharusnya tak perlu menguras energi besar.
Karena sejatimu adalah perempuan langit. Memberikan teduh bagiku yang ingin bernaung dan memimpikan terbang bersamamu. Aku tahu kamu menjadi gelisah atasku. Aku tahu semua itu. Tapi benarkah harus kuucapkan jujur kepadamu atas alasanku. Tentunya ada banyak alasan untuk tidak mengatakan ini kepadamu. Dan tak perlu kau meragukan pernyataan cintaku padamu. Karena sejatiku adalah laki-laki.
Lalu kau jadi semakin mendesakku. Dengan segala kalimat yang kau susun agar benar-benar lembut menyentuh telingaku. Dan memang ternyata benar ucapmu telah sampai ke telingaku dengan lembut. Namun jika telah sampai ke hatiku seakan-akan kalimatmu berubah menjadi tanaman sulur yang mengikatku erat. Sampai-sampai untuk bernapas pun aku harus bersusah payah.
Sungguh sayangku. Aku masih ingat awal kali kita dipertemukan oleh takdir yang menderas jeram pada sebagian hidup kita. Dirimu sangat cantik waktu itu. Dan juga tampak keceriaan yang benar-benar dimiliki oleh seorang perempuan yang beranjak dewasa. Dan aku hanya bisa terdiam menikmati keindahan yang memang bukan untukku. Kau masih pacar kawanku saat itu.
Namun bisa-bisanya aku berharap lain pada hari itu. Padahal nyatanya kau memang sulit untuk aku rengkuh sekalipun hanya mimpi. Jangankan mendambamu, hari itu aku bahkan tak terhirau dari kawan-kawanmu yang lain. Dan tragisnya setelah pertemuan singkat itu kamu terus menghilangkan jejak atasku. Aku juga hanya menganggap dirimu sebagai hal yang harus datang dan pergi di kehidupanku.
Tetapi takdir berkata lain. Sesaat ketika aku hampir melupakanmu dalam ingatanku kau datang kembali pada kehidupanku. Sengaja ataupun tidak, namun membuat kita cukup dekat akhirnya. Dirimu yang selalu dikelilingi masalah dan aku yang berada di dekat masalahmu.
Entahlah. Jika kupikir-pikir kembali kita sepertinya terkena kutukan untuk tidak bisa saling menjauhkan diri. Selalu beberapa masalah yang muncul akan berujung dengan mendekatkan dirimu kepadaku kembali. Dan anehnya aku sangat menikmati permainan takdir yang membuatmu selalu dekat berada di sekeliling hidupku.
Dirimu juga pasti ingat saat menangis menceritakan semuanya kepadaku tentang sakitnya dicampakkan oleh pacarmu yang tak lain juga kawanku. Aku masih ingat semua ceritamu dengan detail bahkan urut waktu. Sehingga tak ada yang lebih tahu tentangmu selain diriku, bahkan orangtuamu juga tak pernah tahu sedetail aku tentang kisah hidupmu.
Beberapa bagian dariku bangga bisa menjadi sesuatu yang mengisi relung hatimu. Bisa memberikan motivasi untuk terus menjalani hidup. Bisa memberi sedikit terang pada jalanmu yang selalu muram. Karena menjadi terang dalam kehidupanmu bagiku sama saja seperti saat dirimu menerima cintaku.
Lalu masihkah kau meragukan cintaku. Setelah banyak yang harus kudengar darimu. Setelah aku menjadi teman curhatmu. Setelah aku berusaha menjadi sandaranmu. Setelah aku mencoba menjadi yang terbaik untukmu. Setelah aku telah menjadi terangmu untuk menjalani kehidupan di masa-masa yang akan datang.
***
‘Kenapa diam mas?’
‘Ha… ngggghhh…nggak kok.’
Aku menjadi kaget saat dirimu membuyarkan lamunanku dengan pertanyaanmu. Sungguh hari ini kau menjadi lain di mataku. Seolah-olah kau menjelma menjadi putri yang membawa sesuatu di tanganmu dan kau sembunyikan di belakang tubuhmu. Sehingga membuat aku hanya bisa menduga-duga apa yang ada ditanganmu. Racunkah atau segelas kopi hangat kesukaanku.
Aku sangat sadar. Bahkan aku sangat sadar. Sekali lagi kutegaskan aku masih waras. Jika racun pun yang kau berikan padamu untuk kuminum aku akan lakukan. Setidaknya biar kau benar-benar paham kalau aku mencintaimu lebih dari aku mencintai nyawaku sendiri.
Aku malah akan menjadi bingung jika dirimu memberikan segelas kopi hangat kesukaanku. Aku akan merasa tambah bersalah jika meminumnya. Aku tahu semua ketulusan cintamu sepenuhnya untukku. Hal itu aku ibaratkan dengan segelas kopi hangat yang dirimu suguhkan padaku. Tapi aku tidak sanggup jika karena hubungan cinta ini kau harus kecewa untuk beberapa kali. Dan kau sangat paham betul apa itu luka dengan alibi cinta.
Karena itu berikan racun itu padaku. Jangan membuat segelas kopi hangat untukku. Aku menjadi semakin tersiksa akan ketulusan cintamu padaku. Sementara aku benar-benar tidak bisa membalas sepenuhnya atas cintamu sekarang. Saat ini. Waktu ini. Segala kerendahan yang akan merekayasa hidupku adalah hal yang tabu untuk kau mengerti waktu sekarang.
‘Ini mas kopinya’
Oh gusti. Ternyata benar ia menyuguhkan kopi hangat kesukaanku. Aku semakin tidak tenang menghadapi cafein yang menghitam di hadapanku. Sepertinya airnya yang keruh dan hitam telah berubah menjadi racun yang pekat dan mematikanku dengan sekejap. Racun itu mengalir ke seluruh pembuluh darahku, menginfeksi dengan zat toksin kemudian sampai ke pusat pertahananku. Ya jantungku telah berhenti berdegup beberapa menit yang lalu.
‘Mas, kenapa kamu masih ragu untuk menuju jenjang lebih serius dari hubungan ini?’
Dan racun yang mengaliri seluruh pembuluh darahku telah berubah menjadi sulur-sulur tanaman yang semakin lama semakin banyak. Karena semakin banyak itulah sulur itu semakin erat mengikatku dan menyiksaku tanpa ampun hingga tiada lagi ruang bernapas di tubuhku. Mataku melotot merah karena sebagian aliran darah seperti berkumpul di kepalaku. Jadinya aku tambah tidak bisa memikirkan apapun juga melalui otak di kepalaku.
Sadar dengan bahaya itu aku meronta sekuatnya untuk melepaskan diri dari sulur-sulur jahat yang menyiksaku beberapa menit yang lalu. Aku menggigit, aku meninju, bahkan aku sampai menendang sulur-sulur itu agar tidak menyiksaku kali ini. Tapi dayaku memang tak sekuat sulur-sulur itu. Aku mulai melemah. Tapi pada satu kesempatan sulur itu juga tidak sekuat beberapa menit yang lalu mengikatku. Aku segera mengigit kembali sulur itu dan karena tak siap seranganku sulur itu terlepas spontan dari leherku. Kesempatan itu tak ku sia-siakan untuk berani menatapmu lagi dan dengan segenap kekuatan yang tersisa aku mulai bicara padamu.
‘Aku masih belum mempunyai pekerjaan tetap untuk melamarmu Anna.’
‘Jadi selama ini mas Ivan tidak mau hubungan lebih serius karena masalah ini.’
‘Ya.’ Jawabku pelan
‘Dan mas Ivan rela menggantung hidupku karena masih ingin mengejar materi? Kita hidup bukan mencari hal duniawi saja, tetapi juga kebahagiaan.’
‘Tapi aku takut tidak dapat membahagiakanmu karena belum mendapat pekerjaan yang tetap Anna.’
‘Dan aku cukup bahagia dengan dirimu sekarang.’
Lalu kami sama-sama terdiam. Beberapa saat hening memang mengasyikkan. Melarutkan diri dalam lamunan akan masa depan yang tak bisa ditebak begitu saja. Meremukkan cita-cita yang masih menggantung jauh di langit yang tak terlihat oleh logika.
‘Ma…mama. Andi mau bobok.
‘Ya sudah bobok di kamar sana, nanti mama nyusul. Mama masih ingin bicara sama om Ivan.’
‘Tapi Andi pengen bobok sama om Ivan biar om Ivan nginep di kamar Andi. Om mau khan? Andi pengen di dongengin lagi seperti kemarin sama om Ivan.’
Duh gusti. Anak itu sangat lugu. Anak dari suami pertama Anna. Aku tahu ia sangat membutuhkan figur seorang ayah. Tapi masihkah aku harus bingung menjawab pertanyaan Anna. Sedang anak itu tidak boleh menunda untuk mendapatkan kasih sayang seorang ayah yang pasti benar-benar ia rindukan. Anna meneteskan airmatanya. Tapi tak bersuara. Hanya menatapku dengan lembut.

Probolinggo, kota sejuta imajinasi.
2 mei 2008
Arya be a positive part one 4 semut

3 comments:

Bro Zabriansyah Hakim said...

Numpang copy paste,,mau dibaca dirumah,,cz yg di email kehapus di komputer,,boleh kan?Makasih..

tamasyakata said...

Setelah tak baca dirumah, kok pas sama lagunya tamasya yg di album terbaru ya? (Save The Tree #2)
hehe..salut..Secangkir kopi dari seorang perempuan..Cintakah? Atau racun? Jawabannya adalah, mari kita tidak berhenti berkarya..hehe..TOP...!!!

Unknown said...

makasih brade, malah aku yang jarang ngunjungi blogku sendiri,,,,