Friday, January 29, 2010

Cerpen : SESAL (-ku)

Sedari tadi aku mengamatimu. Persis di belakang pohon jambu yang menjutaikan angan. Sebab hanya kamu. Selalu seperti itu dalam kebisuan pagi. Saat semua orang lebih memalaskan tubuhnya untuk tetap di ranjang. Kamu tidak. Kamu penuh semangat menyambut pagi buta. Kamu berbeda. Seperti melihat kekuatan dari planet lain ketika memandangmu seperti pagi ini. Dan aku puas walau hanya melihat dari jarak yang agak jauh.
Tak berani apa-apa. Selanjutnya tanganku mulai melukis wajahmu. Entah sudah berapa kali aku melukismu. Telah banyak pena yang kuhabiskan. Telah banyak kertas stensil yang kuburamkan. Sebagai penghormatan pada dewi. Lalu menjadi lukisan seperti monalisa yang tersenyum abadi. Sedikit gendut tapi seksi.
Dan jika sesekali kau menoleh ke arahku cepat kusambar dengan senyuman yang membutakan. Seraya berpura-pura mengerjakan dan menyelesaikan lukisan yang tak lain adalah wajahmu. Benar. Kamulah. Dewi fajar. Pembawa kenikmatan surga pada pagi hari. Sebentar aku ke langit. Meregang nyawa disana karena kecantikan parasmu. Dan memanggilmu untuk ikut meregang juga. Karena pelepasan jasad adalah hal terindah yang pernah dilalui oleh manusia. Siklus yang harus dijalani. Tapi tak apa jika mengalami siklus itu denganmu.
“Areya lek, kopina.”
“Kok repot-repot saja sih yu’. Aku akan buat sendiri nanti.”
“Tak perapah lek. Mumphong bedhe.”
“Terima kasih Yu’.”
”Engghih, de-padhe lek.”
Lalu aku memberi angukan kecil dengan kepala memberi tanda hormat padamu. Dan menatap lekat dirimu pemilik mata kuat warisan elang pelaut. Kehangatan kopi juga tak akan sebanding dengan kehangatan matamu yang menatapku bersahabat. Kamu duduk di lenchak serambi depan rumah. Dudukmu kau atur senyaman mungkin. Tangan kananmu mulai membetulkan rambut yang panjang terjuntai dan sedikit masai oleh angin yang menderu kecil. Tapi tidak henti disitu. Pagi kali ini memang adalah anugerah. Menertawai matahari yang tak kentara panasnya dan mulai menelanjangi tubuhmu seolah berpacu deru denganku menggapaimu.
Sebentar kemudian kamu memandang jauh. Sangat jauh pandanganmu itu. Hanya saja aku tak berani bertanya tentang apa yang kau lihat. Dugaanku kamu hanya menatap kubangan kosong tentang dunia. Atau dengan kata lain kamu sedang melamunkan hidupmu. Sedang aku hanya menduga-duga apa yang kau lamunkan. Tak akan menjadi hal yang serumit dirimu dalam memandang pandanganmu yang jauh itu, jika aku mengetahuinya.
Lalu kau mulai menghela nafas panjang. Panjang sekali. Tampak ingin saja mengeluarkan yang merayapi hatimu beberapa hari ini. Beberapa potong fragmen kehidupanmu. Namun sangat menentukan. Sangat potensial. Sangat penting. Sangat berat. Sehingga kerut-kerut di dahimu mulai terlihat dan mencarut-marutkan pikiranmu. Dan kamu memandangku sebentar. Ya sangat sebentar. Tapi aku tahu arah pandanganmu kali ini. Tidak jauh seperti tadi. Hanya pandangan pendek yang menjejalkan segala pertanyaan. Yang ujung-ujungnya akan berakhir dengan pertanyaan “Seriuskah kamu lek?”.

Aku berkelojotan dengan waktu yang memakan habis nafasku. Tahun windu pertama. Sebuah wilayah pinggiran Probolinggo memangkasku habis dengan segala budaya yang memaksa masuk ke segala inderaku. Aku menelannya. Kadang juga muntah. Namun masih hidup sampai sepersekian lawatan budaya. Sepertinya manusia tak pernah terlahir dari keinginan untuk terus menapaki hidupnya masing-masing. Mewarnai pundi-pundi kejayaan yang diciptakannya sendiri. Tak perduli dimana. Tak perduli siapa. Yang ada hanya seberapa kuat keinginan itu.
Aku kuat. Tak bisa digugat. Bukan berarti tak membuatku ingat akan kehidupan yang sebelumnya lewat. Hanya saja semua menjadi pondasi yang lebih memperkuat sekarang aku berdiri. Hanya melawan. Hanya menata. Menjadi lebih baik. Setidaknya seperti itu menurutku. Bahkan menetap di kota ini juga adalah perjalanan acak yang kutempuh untuk menjadi yang kuat. Beringsut menjadikan kekuatan yang membalikkan keadaanku semakin menjadi terkendali. Hanya aku yang tahu. Bukan ibuku. Apalagi bapakku. Bukan aku membenci mereka. Tapi waktu memintaku untuk mencari arti keluarga di kehidupan Wonoasih yang tak pernah tercatat dalam sejarah mereka.
Seperti sebulan yang lalu. Ketika menjelaskan arti keluarga pada mereka, bapak dan ibuku menudingku telah tidak waras. Mereka tidak menyetujui keinginanku untuk menikah dengan Sawarni. Seorang janda beranak satu tempat aku menambatkan hati. Mereka bersikeras bahwa arti keluarga ada pada Anne yang peranakan blasteran Belanda-Jawa. Anne adalah figur istri yang ideal menurut mereka. Cantik. Pintar. Metropolis. Dan segala kelebihan lainnya nyaris tanpa kekurangan.
Justru aku sendiri yang menganggap bahwa Anne adalah muluk-muluk yang tak pernah diinginkan sedikitpun dari jiwaku. Aku capek dengan wanita seperti Anne. Harus memahaminya dengan tinjauan kesetaraan gender yang berlebihan. Harus berdebat tak berujung ketika membahas keluarga modern yang dianggapnya paling ideal. Harus menjadi kuli mewujudkan idenya saat ia mempekerjakanku sebagai suami. Semua telah terukur pasti. Untuk saat ini bahkan nanti. Semua telah diperhitungkan Anne jika menjadi istriku. Yang bagiku semakin jauh dengan arti keluarga itu sendiri. Karena keluarga tak harus dihitung dengan untung rugi seperti seorang tengkulak di pasar.
Bapak dan ibu yang kusayangi. Sawarni beda. Ia menjadi istri yang tak pernah membicarakan urusan gender. Karena menurutnya Tuhan mempunyai pandangan yang sama terhadap manusia. Hanya manusia yang membuat pengertian berbeda-beda terhadap masalah gender. Bapak dan ibu yang kurindukan. Sawarni beda. Ia hanya memberikan ketulusan seorang istri. Karena baginya ketulusan adalah mutlak sangat dibutuhkan dalam berkeluarga. Bapak dan ibu yang kucintai. Sawarni beda. Ia hidup dalam kesederhanaan masyarakat petani anggur bukan masyarakat teknologi kincir angin. Dan yang terpenting Sawarni adalah saya. Dan saya adalah Sawarni. Titik.
Bapak dan ibu yang kusayangi. Bukan untuk membandingkan. Tapi aku tidak pernah merasa senyaman ini dengan seorang perempuan selain Sawarni. Lantas apalagi yang harus aku tunggu untuk mendefinisikan arti keluarga. Semuanya telah jelas bagiku. Hanya tinggal kalian berdua sepakat atau tidak dengan keputusanku.
Dan kelihatannya kalian berdua tidak sepakat. Tentu saja berat bagi kalian untuk menerima Sawarni, janda bukan kembang desa Wonoasih. Tapi aku juga berat untuk menerima Anne, gadis kincir angin menjadi istriku. Maka aku harus bersikap tegas. Maafkan aku, ayah dan ibu yang sangat aku banggakan. Bukan aku tak ingin menjadi anak yang berbakti. Tetapi Sawarni adalah bentuk pengabdianku pada kalian berdua.
Percaya atau tidak aku akan tetap menjadi Sawarni. Dan Sawarni tetap menjadi saya. Dan Anne tetap perempuan yang tangguh di mataku. Sayang ia tak merasa nyaman denganku begitu juga aku. Ayah dan ibu yang sangat aku hormati. Pada purnama yang keempat tahun ini aku akan membawa Sawarni ke Jakarta. Menemui dan meminta restu pada kalian. Aku harap kalian dapat mengerti keinginan mulia kami berdua.

Pagi itu aku berkemas seadanya. Semalam aku membeli baju dari pasar yang kukenakan dengan celana kain hitam. Semalaman juga aku tak bisa tidur. Ada cecak jatuh tepat di kepalaku saat aku mengemasi pakaian ke dalam kopor. Sawarni memakai baju yang terbaik. Motif bunga matahari hampir menutup seluruh kain yang dikenakannya. Segalanya menjadi indah dalam pagi ini. Segalanya menjadi sangat berarti. Bagiku maupun bagi Sawarni. Hari ini aku berniat membawa Sawarni ke Jakarta menemui keluargaku.
Segala harap dan penantian akan menjadi selesai dalam tempo perjalanan Probolinggo Jakarta kali ini. Semua pertanyaan akan terjawab yang selama ini selalu menggantung dalam pikiranku. Aku banyak berharap keluargaku akan memahami dan merestui kehadiran Sawarni sebagai bagian dari keluarga. Tak perduli Sawarni janda. Aku telah merasakan kebahagiaan di samping janda Sawarni selama ini.
“Yu’ sudah siap?”
“Bule siap lek.”
“Tiketnya sudah kau bawa?”
Angukan kepala Sawarni telah melegakan pikiranku. Semua telah siap. Aku akan membawanya ke dunia yang selama ini ia hanya lihat dalam televisi empat belas inch. Pasti Sawarni merasa gugup kali ini. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa aku benar-benar serius membawanya ke Jakarta. Kota yang penuh dengan fasilitas dan memanjakan penduduknya dengan gemerlap kisah kesuksesan. Dan bagiku Jakarta tetap Jakarta yang aku kenal. Kota tua yang sedikit angkuh. Entah mengapa Jakarta selalu eksotis bagi para pendatang yang mengadu nasib kepadanya.
“Mau kemana dik Virman?” tanya pak Bebun sesaat setelah aku dan Sawarni keluar dari pintu rumah.
“Mau ke Jakarta pak.”
“Sawarni Juga?”
“Iya pak.”
“Sebelum berangkat kau terima telepon dulu di rumahku. Tadi ada keluargamu menelepon dari Jakarta.”
“Ada apa pak?”
“Saya juga tidak tahu dik, tapi kelihatannya penting.”
Aku segera beranjak menuju rumah pak Bebun. Sawarni hanya duduk pasrah menantikan kabar dariku. Otaknya kelihatan sedang berpikir. Atau setengah menduga. Aku tak tahu pasti. Yang pasti aku lihat Sawarni menatapku tajam. Masih dengan tatapan elang pelaut yang tajam. Memastikan apa-apa yang belum pasti. Aku tersenyum. Dan Sawarni sedikit lega dengan menghadirkan senyum pula.
“Lu yang tabah ye.”
“Ade ape sih cing ?” aku khawatir dengan suara dari seberang.
“Nyak dan babe lu kecelakaan tadi malem. Nyak dan babe lu habis dari pasar, katenye buat persiapan lu yang dateng dari Probolinggo.”
“Trus Nyak Babe gimane keadaannye?”
“Mereka udeh tenang di sono.”
“Maksud encing…Nyak Babe…”
“Lu tabah ye. Lu kudu ngarti kalo umur seseorang kagak ade yang tahu.”
Dan aku menjadi tak terkendali. Aku berhambur keluar dari rumah pak Bebun. Aku peluk Sawarni sekuatnya. Sawarni hanya terdiam tak mengerti. Tapi aku terus memeluknya erat.


At my room
Thank’s to Probolinggo
City of imagine

No comments: