Friday, September 18, 2009

Bursa Transfer Ramadhan Episode:Curhat Jalanan

Semacam catatan perjalanan.
Hari lebaran atau Idul fitri tinggal menunggu beberapa hari ke depan. Berkah-berkah yang dialirkan pada bulan ini sangat banyak dan berusaha kita raih juga dengan sebanyak-banyaknya pula. Beberapa peristiwa maupun kejadian siap membuat cerita pada kehidupan seorang muslim pada bulan yang terkenal dengan maghfiroh. Ada yang pada bulan ini lagi kesusahan seperti beberapa saudara kita yang tertimpa bencana gempa. Ada pula yang pada bulan ini juga bersiap-siap untuk dirumahkan dari tempatnya bekerja tanpa pesangon dan juga tanpa sedikit uang THR.
Sebagian pula sudah bisa tersenyum lega telah mendapat uang THR dan bersiap-siap untuk melakuklan tradisi mudik. Baik menggunakan kendaraan pribadi maupun umum, sepeda motor, mobil, bahkan kemarin juga ada yang nekat mudik menggunakan bajaj (TVone/13-09-2009). Bingkisan lebaran bagi yang menjadi PNS juga sudah dibagikan. Kardus berwarna coklat bertuliskan “Selamat merayakan hari raya Idul Fitri” itu telah menghantarkan senyum indah pada keluarga mereka di rumah yang telah menunggu bingkisan tersebut. Sebagai bentuk hubungan yang terjalin semasa mereka bekerja di instansi tertentu.
Semua kegetiran hidup dan senyum lega itu saling mengisi di bulan Ramadhan kali ini. Seperti rajutan kain ulos yang terajut dari berbagai warna benang seperti itulah kisah yang mengisi ruang-ruang Ramadhan kali ini. Begitu perih mengingat mereka yang tengah tertimpa cobaan dari Allah SWT pada ramadhan kali ini. Namun terkadang kita juga sedikit bersyukur melihat senyum bahagia dari mereka yang bisa merayakan lebaran. Ada rasa yang menyayat-nyayat perasaan, disisi lain ada perasaan bahagia pada satu waktu yang sama. Ramadhan yang kompleks. Ramadhan yang sempurna.

Sedikit bercerita
Hari sabtu sore.
Masih juga di bulan ramadhan. Di sebuah jalan di kota probolinggo. Seorang laki-laki paruh baya meregang nyawa pada aspal-aspal yang diam membatu. Menyerahkan segala kepasrahan pada ban besar milik sebuah truk. Jasad kakinya hampir terlumat habis oleh kasar kerikil yang menyeretnya beberapa meter oleh hentakan gas truk tersebut. Dengan sedikit lirih ia sempat juga memanggil tuhannya. Kemudian menutup matanya dengan mulut yang sedikit terbuka. Masih juga dibulan ramadhan. Ia tak sempat berkata lagi karena nyawa telah tiada.
Sebulan ini angin menderu lebih kencang dari biasanya, melarung
Kesekian kali nyawa di jalan-jalan panas yang beraspal.
mereka sepersekian detik dengan sangat khidmad menyebut nama-Nya,
sungguhindah
menjadi saksi sejarah atas peregangan nyawa di jalan-jalan panas yang beraspal itu
lalu sepersekian detik juga ada hembusan terakhir
yang mengagumkan.
sepertinya ada sedikit pinta pada hembusan terakhir itu
sangat lirih.
Ya Allah Selamatkan aku di Akhiratmu
Ahhh, terlalu sakit memujaMu di saat ajal mulai mencekik diam-diam nyawa
selesai juga akhirnya aku bermunajat pada-MU,
pada jalan-jalan panas yang beraspal ini.

Sabtu malam.
Bergegas memburu pahala dengan membawa sajadah dan kopiah. Menuju ke masjid jami’ kota Probolinggo. Beberapa rombongan bemukena putih santun menakzimi setiap muslim yang mereka kenal. Ada sedikit kepuasaan di mata mereka setelah seharian berperang melawan hawa nafsu masing-masing. Bergegas juga sang imam memulai Isya yang khusyu’. Setelah beberapa lama membaca wirid bersama maka komando untuk melakukan shalat tarawih bersama dikumandangkan. Masjid yang sudah dirernovasi itu semakin terlihat lapang dan nyaman disana. Apalagi menyentuh karpet-karpet lembut dan beraroma wangi, hati ini semakin tergetar untuk lebih menyeru pengampunan kepada-Nya.
Beberapa menit dihasbiskan untuk tarawih di masjid itu sama sekali tak terasa letihnya. Kenyamanan yang sempurna untuk beribadah. Namun sayang tak sampai 5 baris shaf yang terisi di masjid yang begitu besarnya. Tapi lihat saja nanti ketika shalat Idul Fitri dilaksanakan. Di luar pelataran masjid pun akan penuh dengan orang-orang yang ingin melaksanakan shalat. Walaupun harus mengalasi dulu dengan beberapa lembar Koran. Indahnya jika pada saat tarawih kali ini seperti saat shalat Idul Fitri dilaksanakan.
Tarawih dilanjutkan pula ke tadarus. Membunyikan firman-firman Allah dengan irama merdu, volume suara microphone juga diatur sedemikian rupa agar tak mengganggu syaraf pendengaran. Jadi semakin berniat menyimak bacaaan firman-firman tersebut. Tidak seperti yang terjadi di beberapa masjid yang membunyikan keras-keras dan sedikit semaunya. Kadang hati juga merasa sedikit dongkol. Mau disimak bacaan Qur’an itu tapi sangat menganggu di telinga akibat volume speakernya yang terlalu kencang. Tidak disimak malah semakin parah karena bacaaan yang dibaca itu Al Quran yang nota bene harus disimak ketika diperdengarkan. Jadi dilema pada masing-masing muslim tentunya.
Sedikit bergeser ke tempat lapang di depan masjid jami’ ini. Hhhmmmmhhh. Hanya bisa mengelus dada saja. Muda-mudi yang masih berusia belasan bahkan ada beberapa yang belum genap sepuluh, bergerombol. Mencari kesenangan. Mencari sesuatu yang baru. Berdekat-dekatan walau nyata bukan muhrim. Di pojokan yang agak temaram. Entah setan mana yang membius mereka. Ini kah wajah ramadhan di kota tercinta dan kebanggan kita semua. Dimanakah para orang tua anak-anak bau kencur tersebut. Ataukah alasan dari anak mereka memang membuat para orang tua lengah untuk mengawasi. Subhanallah. Monggo kita saling menjaga rumah dan keluarga kita masing-masing. Setidaknya pada bulan ini. Kita benar-benar mengawasi anak-anak kita.

Sedikit berbagi
Bulan ini sangat menjanjikan ampunan. Maka hari-hari Ramadhan semakin dekat meninggalkan kita. Semakin berkurang juga kesempatan kita untuk meminta ampunan. Maka bergegas. Ayo bergegas. Memperbanyak amalan-amalan sekecil apapun di bulan ini. Seperti juga Transfer uang melalui ATM. Pada bulan ini juga telah dibuka keran-keran transfer pahala ke rekening hati kitas. Tinggal kita mau apa tidak melaksanakan. Sekecil apapun yang dilakukan pada bulan ini adalah ibadah. Bahkan tidur pada bulan ini pun adalah ibadah.
Banyak dari para pekerja sering mengeluhkan pekerjaannya. Apalagi pekerjaan yang berbau di lapangan. Ketika matahari terik menyambut mereka. Banyak yang tak tahan. Membatalkan puasanya. Padahal Allah sudah bersiap mentransfer pahala di pundit-pundi amal mereka. Sungguh sangat disayangkan bukan. Sedang saudara muslim kita yang tertimpa musibah lebih berat tekanannya daripada kita. Lantas apa yang menjadi pemaafan atas batalnya puasa kita? Tidak ada. Karena Allah tidak pernah salah mentransfer pahala kepada kita. Lihat saldo pahala kita juga akan dilipatgandakan pad bualan ini. Maka sangat disayangkan kita melewatinya hanya karena masalah pekerjaan.
Transfer pahala Allah itu pasti. Maka jangan ada sedikit keraguan apapun atas janji Allah tersebut. Cek saldo di pundi-pundi amal kita dengan shalat malam. Sedikit introspeksi ke diri masing-masing. Maka percayalah transfer pahala itu semakin jelas kita rasakan alirannya.




buat kawan-kawan sejihad

Monday, July 20, 2009

KALI BANGER

Semacam Awalan

Suatu siang seusai kerja, saya cangkruk dan berbincang-bincang ringan dengan beberapa tetangga sebelah rumah. Terlihat gayeng walau tidak se-resmi debat capres. Kami mulai memperbincangkan tentang berbagai hal. Mulai dari isu politik terhangat, budaya, kesenian bahakan sampai ke topik sejarah Probolinggo. Sesampai pada topik sejarah Probolinggo salah satu tetangga saya nyeletuk tentang riwayat "KALI BANGER".

Dua kata itu sebenarnya sudah tidak asing lagi bagi saya. Setahun lebih yang lalu saya pernah mendengar istilah tersebut. Dari teman saya. Seorang wartawan media cetak. tapi istilah itu keberadaannya seakan tergerus dengan pencarian identitas baru dalam proses modernisasi ruang-ruang publik. Berbagai gedung baru dibangun dan meneggelamkan asal-muasal kota Probolinggo tersebut. Sebagai generasi muda seperti juga saya ada semacam perasaan "Loss Identity" terhadap riwayat Kali Banger. Jika tetangga atau teman wartawan saya tidak menceritakan kembali keberadaan Kali Banger mungkin saya akan lupa bab sejarah ini.

Berawal dari obrolan tersebut ada semacam motivasi membuncah secara tiba-tiba untuk mencari tahu lebih dalam tentang Kali Banger. Penelusuran itu saya mulai dari mengumpulkan sepotong-sepotong cerita dari beberapa masyarakat yang tahu keberadaan kali (Sungai) tersebut walau itu masih belum cukup. Cerita-cerita yang bagai serpihan kaca itu terlalu sulit untuk disatukan menjadikan utuh kembali. Berpendar-pendar mencari sebuah kebenaran sejarah lain yang seperti mencari jarum di tumpukan jerami.
dari beberapa cerita tersebut atau lebih tepatnya bisa disebut Folklore itu dikisahkan bahwa kali banger dulu pernah mencapai masa emasnya. Kali Banger merupakan sungai besar yang ramai dikunjungi oleh perahu-perahu dagang dari sekitar wilayah Probolinggo bahkan luar pulau. Perahu-perahu mereka juga bisa masuk ke jantung kota sehingga bisa transaksi langsung ditengah kota.

Karena merasa literature saya eman hanya berhenti pada bukti folklore saja maka beberapa bulan yang lalu saya mulai mencari beberapa buku yang berkaitan dengan Kali Banger. Awalnya saya mulai mencari atau istilahnya Surfing di internet dengan kata kunci “Kali Banger”. Memang benar ada file tentang Kali Banger tapi di kota Semarang. Akhirnya ada kejelasan tentang sejarah Kali Banger ketika saya menemukan sebuah buku yang saya dapat dari DISPOBPAR kota Probolinggo. Sayang karena berupa fotokopian saya tidak bisa menyebutkan judul buku tersebut. Buku itu disusun pada waktu kota probolinggo dipimpin oleh Mayor TNI Soenarto Setjoatmodjo sebagai walikotanya dalam memperingati hari jadi kota Probolinggo yang ke 50 (Tahun Emas)

Dalam buku itu ditulis bahwa penyebutan kata Banger itu sudah dikenal dalam tulisan-tulisan sejarah yang bertitiwarsa 1365. Bahkan banger merupakan cikal bakal nama kota Probolinggo yang kita kenal sekarang. Pada tahun 1359 Sri Hayam Wuruk (Radjasanagara) pernah melakukan perjalanan ke daerah Lumajang dan Bondowoso. Dalam perjalanan ke dua kota tujuan tersebut Sri Hayam Wuruk disinyalir singgah melepas penat di daerah aliran Kali Banger yang daerah itu juga disebut Banger.

Masa Emas Kali Banger

Kali Banger pernah menjadi alur pusat perekonomian dan mencapai puncaknya pada tahun ±1900. Banyak perahu-perahu bersandar dan berniaga menggunakan jalur Kali Banger tersebut. Kebanyakan perahu-perahu tersebut datang dari sekitar wilayah Probolinggo bahkan dari pulau Madura. Karena aliran Kali Banger dahulu masih besar maka perahu-perahu tersebut bisa masuk hingga ke pusat kota. Jalur perekonnomian yang menggunakan Kali Banger berpusat di daerah bernama “Tambak Pasir”. Kira-kira wilayah itu sekarang berada di pasar Baru kota Probolinggo.

Nama Kali Banger dijadikan nama tempat oleh masyarakat sekitar bantaran Kali (sungai) tersebut dengan sebutan daerah Banger. Pada tahun 1746 V.O.C (Persekutuan Dagang Belanda) mengangkat kiai Djojolalono sebagai bupati pertama di kawasan Banger tersebut. Daerah Banger sendiri kira-kira terletak di daerah Kebonsari Kulon sekarang. Pada waktu itu daerah Tambak Pasir sebagai pusat niaga, daerah Banger menjadi Pusat pemerintahan. Hal itu didukung oleh akses jalur air di sepanjang tren Kali Banger. Maka tidak mengejutkan banyak penduduk akhirnya menetap di daerah ini.

Namun sejak tahun 1770 nama wilayah Banger ini berubah nama dan diganti dengan probolinggo. Penggantian nama tersebut juga membuat aura dari Kali Banger semakin meredup di mata masyarakat sekitar bantaran. Kondisi itu semakin diperparah dengan tidak berfungsinya Kali Banger sebagai jalur perahu-perahu Niaga lagi. Kali Banger yang menjadi jalur air utama pada masa kejayaannya akhirnya hanya menjadi aliran Kali (sungai) yang kecil saja. Bahkan dewasa ini Kali Banger hanya dijadikan saluran pembuangan (got) yang sedikit jorok keberadaannya.

Mencoba Berbagi

Dalam beberapa kesempatan pada diskusi rutin komunitas Indie Short Movie se-Probolinggo, saya sempat melakukan pertanyaan-pertanyaan ringan seputar Kali Banger. Komunitas yang sebagian besar anak muda ini memang sering mengadakan diskusi untuk membahas tentang ide penggarapan film. Mereka memang concern untuk mengangkat lokalitas daerah Probolinggo. Sehingga ketika saya memberi pertanyaan tersebut masih relevan dan tidak menyimpang dengan keinginan dan idealisme mereka.

Beberapa pemuda yang terlihat sangat rapi, bersepatu, bahkan jauh dari terkesan kumal itu sangat serius menanggapi pertanyaan saya. Bercengkerama dibawah sinar bulan yang mulai juga terasa dingin karena angin gending sudah mulai menghempas denyut nadi kota Probolinggo. Tampak salah satu dari mereka berdiskusi dengan mimik lumayan serius kepada rekan disebelahnya. Mereka kemudian mulai sharing dan mulai angkat bicara tentang apa dan bagaimana perjalanan sejarah Kali Banger. Namun mereka seakan ragu-ragu mendiskusikan ini karena masih tidak begitu paham dan mengerti asal-usul dan sejarahnya.

Sangat berbeda sekali dengan beberapa diskusi beberapa bulan yang lalu. Mereka sangat terkesan banyak wacana dan menginspirasi terjadinya ide penggarapan film tentang kehidupan nelayan di Probolinggo. Film yang menceritakan bagaimana perjuangan seorang nelayan untuk menyekolahkan anaknya. Film tersebut pernah mendapat nominasi dalam festival film independent tingkat nasional. Bahkan karya mereka telah ditonton oleh ribuan orang di sebagian kota-kota besar Indonesia. Komunitas mereka juga ikut terkenal karena mereka secara terus-menerus concern mengangkat tema-tema lokalitas pada penggarapan film-filmnya.

Ya. Mereka mengakui bahwa mereka lebih mengenal kali Mas Surabaya atau kali Bengawan Solo. Karena kali (Sungai) tersebut sudah tidak asing lagi dalam lingkup indera mereka, Bengawan Solo juga telah diabadikan menjadi bentuk lagu oleh Gesang. Sungguh sangat ironis sekali. Mereka yang mengaku concern dengan tema lokalitas Probolinggo juga tidak begitu paham tentang Kali Banger. Mereka seakan acuh tak acuh dengan keberadaan Kali Banger. Kesimpulan sementara saya istilah Banger telah pudar di kalangan sineas muda Kota Probolinggo. Semoga tidak terjadi pada generasi muda keseluruhan di kota Probolinggo. Padahal sesuai dengan data yang saya temukan di buku fotokopian, Kali Banger memegang peranan penting dalam menentukan cikal bakal Kota Probolinggo.

Di waktu yang sama, saya juga menanyakan letak Kali Banger itu sekarang. Hasilnya, mereka semakin terdiam tanpa bisa bicara apapun. Mereka sadar bahwa kebutuhan tentang tema lokalitas tidak berhenti pada pemaknaan fisik saja. Tapi juga pemaknaan sejarah juga sangat dibutuhkan. Kali Banger, disadari atau tidak merupakan peninggalan sejarah dan lokalitas dari kota Probolinggo yang juga sangat penting untuk ditelaah. Butuh suatu jembatan yang menjembatani para generasi muda yang mulai melupakan tentang fungsi dan makna Kali Banger bagi kota mereka. Bahkan saya mempunyai mimpi bahwa sejarah Kali Banger masuk ke kurikulum pelajar melalui mata pelajaran Muatan Lokal (Mulok). Hal itu bertujuan agar generasi muda masih bisa dan mampu memaknai keberadaan Kali Banger baik secara fungsi maupun makna sejarahnya.

Saya jadi teringat lagi dengan kawan saya yang bekerja sebagai wartawan media di Probolinggo. Gagasannya sangat menarik bagi saya untuk diwujudkan. Mengadakan semacam ekspedisi untuk mengenal lebih dalam tentang fisik Kali Banger sekarang. Kegiatan itu didokumentasikan secara visual maupun non visual. Dengan harapan generasi muda kota Probolinggo tidak sampai Loss Identity terhadap sejarah kotanya sendiri. Tapi kapan?

Tuesday, July 14, 2009

merindu yang ragu


Merindu yang ragu

hanya siakan usiaku
dan mati dirajam pilu
menciumi jauh wangimu

ingin sekedar menyapamu
pada tampias embun semalam
tapi lebaran saja ku lekatkan
rindu-rindu selama setahun

merindu yang ragu
pada rasa buatmu

let 27-06-09
kiro2 23.05 BBWI