Friday, January 29, 2010

Cerpen : Berita Tak Pernah Libur

Sudah biarkan saja seperti itu. Kerena aku juga sudah kenyang dengan omelan tentang layout berita seperti itu. Apalagi sekarang banyak orang pergi ke gereja merayakan hari yang dianggap mereka suci kehadirannya tahun ini. Semua semestinya berjalan sesuai dengan jadwalnya. Jangan pernah keluar dari yang telah ditetapkan. Bahkan aku yang tak pernah merasakan libur, jarang datang ke gereja walaupun hanya sekedar berdoa. Paskah, Natal atau apalah. Yang biasanya oleh pemerintah diberi tanda merah. Aku tetap saja berkutat pada mesin ini. Tak pernah lelah. Juga tak pernah goyah. Karena ini urusan perut keluargaku di rumah.
Ruangan ini semakin menyiksaku dengan dingin AC yang bertengger angkuh tiga meter di atas kepala. Mengangguk-angguk seperti meniup terompet tahun baru yang akan tiba di penghujung tahun. Sayang ia tak bersuara seperti speaker mini di bawah kakiku. Ia sibuk saja berkoar-koar mengeluarkan suara atas apa yang aku perintah untuk memperdengarkan lagu dangdut melalui software yang ada di dalam komputer. Ya. Lagu yang sering orang bilang kampungan. Biarlah. Walaupun begitu aku menikmatinya seluruh. Menelannya dengan gendang telingaku. Tak ubahnya seorang tua yang terkesima mendengar alunan musik klasik dengan piringan hitam besar.
Lalu sepi benar-benar manyiksaku kali ini. Hanya itu yang aku rasakan di ruangan bertemperatur dua puluh empat derajat celcius ini. Kulitku mengering sudah. Lupa tadi aku membawa lotion pelembab kulit. Sebab waktu tak pernah kompromi dengan editor koran murahan sepertiku. Semua sudah ter-dateline rapi. Jam sekian harus sudah masuk meja redaktur. Atau alasan lain yang tak kalah pentingnya. Dan yang paling menyiksa adalah semua itu membuatku seakan-akan berlari dikejar seekor anjing Bulldog hitam besar. Dan aku terus saja berlari-lari untuk menyelamatkan bokongku dari gigitannya.
Dan tuntutan selalu mengiringi diriku bila terjadi kesalahan kecil saja. Namun ini tidak pernah main-main dengan semua kata yang berbaris membentuk makna itu. Kata-kata itu akan dibaca seluruh antero daerah. Salah sedikit membuat aku kesulitan. Kesalahan edit yang paling fatal adalah dilarang terbit lagi dan di-bredel dari peredaran. Sedang aku butuh makan. Sedang anakku butuh susu. Sedang istriku butuh baju. Sedang aku sendiri butuh ,….aku lupa aku butuh apa. Jika akan kudaftar seperti menu di restoran tentunya akan banyak juga. Berlembar-lembar pastinya. Karena aku tahu manusia tidak pernah ada puasnya atas keinginan. Maka itu togog pun memakan gunung.
Aku benar-benar sangat ingin menikmati hidup normal selayaknya orang lain. Berseragam. Masuk kantor jam delapan pagi. Tidak sepertiku yang berangkat ketika orang akan bercengkerama dengan keluarganya di sore hari. Kemudian aku membayangkan duduk di meja yang bernama atas diriku. Lengkap dengan embel-embel titel di depan dan belakang namaku. Ada pena dengan tinta berwarna emas nancap nyaman di saku kiri seragam. Lalu aku juga akan menghadap komputer. Seperti yang aku kerjakan sekarang. Jika tidak ada kerjaan aku akan mulai membuka koleksi permainan. Agar tak jenuh bekerja. Atau koleksi film bokep. Dan melihat sengaja dengan rasa was-was di hati. Takut atasan sidak ke kantor. Dan menemukan aku lagi tidak pada prosedur kerja orang-orang yang berseragam.
Sayangnya aku tidak pernah menjadikan profesi idaman itu menjadi kehidupanku sehari-hari. Atau aku yang tidak menginginkan keteraturan berseragam itu. Bagiku tidak pernah ada tantangan hidup bagi mereka. Mengerjakan hal yang berpola sama. Tak pernah beda dalam setahun. Atau jika ingin lari dari rutinitas membosankan mereka akan mengajukan proposal. Ya. Semacam proposal begitulah. Proposal untuk melancong ke luar negeri. Atau lebih dikenal dengan studi banding. Dan keluarga besar di rumah juga wajib ikut dengan gratis.
Dulu semasa menjadi mahasiswa aku juga tidak pernah hidup serba berkecukupan. Harus prihatin tiap harinya. Harus rela makan mie instant dua kali dan satu kali makan nasi di warung pinggir jalan. Biar cukup uang saku sebulan dari bapak di desa.
…..
Masih menari. Dan bergoyang juga. Semacam rumput laut yang ada di akuarium. Tepat di meja tamu dekat meja receptionis. Dan lampunya yang ungu membawa kesejukan tersendiri bagi segala tumbuhan laut yang bertengger di punggung karang yang di tata sedemikian rupa membentuk kenyamanan estetetis mata yang memandangnya. Jelas seperti caffein yang mengendurkan urat syaraf ketika raga berkata lelah pada otak. Ya. Ada juga ikan yang menjadi lambang sebuah perusahaan nasional atau juga semi nasional. Aku tidak tahu persisnya. Aku malas mengikuti beritanya. Ya sebuah kuda laut. Memagut-magut mesra pada karang yang menyala tertampias ungu lampu.
Lalu ingin saja menjadi muda lagi. Menjadi manusia yang tidak terbatas pada urusan perut. Menjadi manusia yang bebas. Menjadi manusia tak terikat waktu. Pergi sesukanya. Tak juga pernah pulang malam. Sekalian pagi. Langsung nyemplung sumur untuk mandi. Menggosok gigi. Dan menyisir rambut setelahnya. Dengan mata merah sehabis mabuk minuman murahan tadi malam masuk juga ke kelas. Dan dosen yang sama. Dosen yang tua. Dosen yang lurus mengajarkan teori. Dosen yang memutih rambutnya dan berusaha tampil muda dengan menyemir hitam rambutnya. Dengan semir murahan pula. Dosen yang berkompromi atas pilihan mahasiswa. Karena jika tidak akan didemo ratusan anak didiknya yang garang.
Dan aku. Aku yang masih saja hitam kulitnya. Aku yang masih saja berkacamata minus tebal. Aku yang masih saja berbibir besar hitam. Aku yang masih saja membuang puntung rokok sekenanya. Aku yang masih saja hapal dengan perkalian angka sampai seratus. Aku yang masih saja hobi memotret gadis yang melewati kampusku untuk menuju ke kampusnya di seberang. Dan itulah yang membuatku betah bersemedi di atas genteng panggung pertunjukkan yang sudah berlumut dimakan usia. Hanya untuk mendapatkan view yang pas untuk mengambil gambar tanpa diketahui empunya.
Buku yang kupegang selalu juga menjadi syarat untukku masuk mengikuti mata kuliah dengan harapan dosen cepat mengakhirinya. Karena mata ini selalu meronta-ronta minta untuk dipejamkan tiap kali dosen membuka lembar-lembar teorinya. Karena itu juga yang membuatku selalu menjadi orang yang tak pernah duduk di bangku depan kelas kecuali jika ujian yang mewajibkan aku harus duduk di bangku yang paling depan.
Semua menjadi suatu keasyikan tersendiri. Dan menggunung makna ketika harus hadir menjadi lamunan masa lalu. Dan saat ini aku telah beranak satu. Saat aku telah mengenal bagaimana kerasnya hidup. Saat aku telah menjadi bapak bagi anak semata wayangku. Saat aku tertawa tapi tak ada yang ikut tertawa di sampingku. Saat merasakan sepi di kerumunan orang merayakan natal tahun ini. Atau saat seperti tak pernah punya rasa untuk merasai sebuah kehidupan di luar. Ya. Diluar itu. Yang sekarang sudah ada pedagang terompet tahun baru. Atau pedagang makanan yang berebut lahan untuk menyambut tahun baru nanti.
Selantun nada dering monophonic dari handphone butut menampar gendang telingaku lembut menggetarkan seluruh aroma sepi di ruang bertemperatur dua puluh empat derajat ini. Dari Tantri. Istriku. Oh kiranya hanya SMS. Ada apa selarut ini ia SMS aku. Curigakah kepadaku? Tidak juga karena aku orang yang tak begitu suka keluar malam jika tak ada alasan yang tepat. Atau sekedar minum se-sloki arak di pinggiran jalan. Tidak. Aku sudah berhenti melakukan itu. Sejak predikatku menjadi seorang sarjana. Sejak predikatku menjadi seorang suami. Sejak predikatku menjadi seorang bapak bagi anakku. Tapi kenapa Tantri mengirimkan SMS kepadaku malam-malam begini.
“Arya sakit mas. Panasnya sudah terlalu tinggi. Apa perlu di bawa ke rumah sakit?”
Aku terkejut membacanya. Tadi siang Arya masih tertawa dengan teman seusianya. Aku spontan langsung membalas SMS Tantri dengan meneleponnya melalui fasilitas telepon kantor. Untuk memastikan. Untuk membuat hatiku tenang. Untuk secara langsung terlibat komunikasi yang tidak bisa diwakilkan dengan kata-kata yang ada di SMS. Untuk mendengar ekspresi Tantri di rumah tentang keadaan Arya anakku.
Hallo
Hallo
Dik, mulai kapan sakitnya?
Mulai dari tadi tak lama setelah mas mau berangkat ke kantor.
Sudah kau beri obat?
Belum mas. Sementara ini aku hanya mengompresnya.
Kenapa tidak di belikan obat.
Uangnya aku berikan pada pak Budi katanya malam ini ada arisan dan pengajian warga.
Kau bisa pinjam dulu ke mak Inah. Nanti sekembalinya aku dari kantor, aku bayar.
Sebentar mas. Arya kejang-kejang….
Maksudmu ?
Dan ia menutup pembicaraan sepihak. Menghempaskannya begitu saja. Persis seperti menghempaskan aku dalam tanda tanya yang besar atas keadaan Aryaku. Komputer masih nyala. Tanda kerjaanku untuk meng-edit berita esok masih belum selesai. Masih separuh jalan. Masih ada lima berita yang harus ku-edit malam ini. Sementara bayangan Tantri semakin menggurita di kepalaku. Seorang wanita yang sendiri di rumah ditinggalkan suaminya kerja di malam hari. Dan seorang anak yang sedang sakit. Entahlah. Kepalaku sudah tak bisa membayangkan jika keadaan ini menjadi semakin parah. Sebab terlintas rumah sakit adalah pilihan yang terbaik bagi anakku sekarang. Cepat kuambil jaket dan kunci sepedaku. Dan meninggalkan komputer nyala sendiri di kantor yang selalu sepi saat malam tiba. Kantor yang tidak mengenal hari libur. Karena aku tahu berita tak pernah libur.




Saat Jember diguyur hujan
At my room
So silence. Thank’s Tantri

No comments: