Semacam Awalan
Suatu siang seusai kerja, saya cangkruk dan berbincang-bincang ringan dengan beberapa tetangga sebelah rumah. Terlihat gayeng walau tidak se-resmi debat capres. Kami mulai memperbincangkan tentang berbagai hal. Mulai dari isu politik terhangat, budaya, kesenian bahakan sampai ke topik sejarah Probolinggo. Sesampai pada topik sejarah Probolinggo salah satu tetangga saya nyeletuk tentang riwayat "KALI BANGER".
Dua kata itu sebenarnya sudah tidak asing lagi bagi saya. Setahun lebih yang lalu saya pernah mendengar istilah tersebut. Dari teman saya. Seorang wartawan media cetak. tapi istilah itu keberadaannya seakan tergerus dengan pencarian identitas baru dalam proses modernisasi ruang-ruang publik. Berbagai gedung baru dibangun dan meneggelamkan asal-muasal
Berawal dari obrolan tersebut ada semacam motivasi membuncah secara tiba-tiba untuk mencari tahu lebih dalam tentang Kali Banger. Penelusuran itu saya mulai dari mengumpulkan sepotong-sepotong cerita dari beberapa masyarakat yang tahu keberadaan kali (Sungai) tersebut walau itu masih belum cukup. Cerita-cerita yang bagai serpihan kaca itu terlalu sulit untuk disatukan menjadikan utuh kembali. Berpendar-pendar mencari sebuah kebenaran sejarah lain yang seperti mencari jarum di tumpukan jerami.
dari beberapa cerita tersebut atau lebih tepatnya bisa disebut Folklore itu dikisahkan bahwa kali banger dulu pernah mencapai masa emasnya. Kali Banger merupakan sungai besar yang ramai dikunjungi oleh perahu-perahu dagang dari sekitar wilayah Probolinggo bahkan luar pulau. Perahu-perahu mereka juga bisa masuk ke jantung
Karena merasa literature saya eman hanya berhenti pada bukti folklore saja maka beberapa bulan yang lalu saya mulai mencari beberapa buku yang berkaitan dengan Kali Banger. Awalnya saya mulai mencari atau istilahnya Surfing di internet dengan kata kunci “Kali Banger”. Memang benar ada file tentang Kali Banger tapi di
Dalam buku itu ditulis bahwa penyebutan kata Banger itu sudah dikenal dalam tulisan-tulisan sejarah yang bertitiwarsa 1365. Bahkan banger merupakan cikal bakal nama
Masa Emas Kali Banger
Kali Banger pernah menjadi alur pusat perekonomian dan mencapai puncaknya pada tahun ±1900. Banyak perahu-perahu bersandar dan berniaga menggunakan jalur Kali Banger tersebut. Kebanyakan perahu-perahu tersebut datang dari sekitar wilayah Probolinggo bahkan dari pulau Madura. Karena aliran Kali Banger dahulu masih besar maka perahu-perahu tersebut bisa masuk hingga ke pusat
Nama Kali Banger dijadikan nama tempat oleh masyarakat sekitar bantaran Kali (sungai) tersebut dengan sebutan daerah Banger. Pada tahun 1746 V.O.C (Persekutuan Dagang Belanda) mengangkat kiai Djojolalono sebagai bupati pertama di kawasan Banger tersebut. Daerah Banger sendiri kira-kira terletak di daerah Kebonsari Kulon sekarang. Pada waktu itu daerah Tambak Pasir sebagai pusat niaga, daerah Banger menjadi Pusat pemerintahan. Hal itu didukung oleh akses jalur air di sepanjang tren Kali Banger. Maka tidak mengejutkan banyak penduduk akhirnya menetap di daerah ini.
Namun sejak tahun 1770 nama wilayah Banger ini berubah nama dan diganti dengan probolinggo. Penggantian nama tersebut juga membuat aura dari Kali Banger semakin meredup di mata masyarakat sekitar bantaran. Kondisi itu semakin diperparah dengan tidak berfungsinya Kali Banger sebagai jalur perahu-perahu Niaga lagi. Kali Banger yang menjadi jalur air utama pada masa kejayaannya akhirnya hanya menjadi aliran Kali (sungai) yang kecil saja. Bahkan dewasa ini Kali Banger hanya dijadikan saluran pembuangan (got) yang sedikit jorok keberadaannya.
Mencoba Berbagi
Dalam beberapa kesempatan pada diskusi rutin komunitas Indie Short Movie se-Probolinggo, saya sempat melakukan pertanyaan-pertanyaan ringan seputar Kali Banger. Komunitas yang sebagian besar anak muda ini memang sering mengadakan diskusi untuk membahas tentang ide penggarapan film. Mereka memang concern untuk mengangkat lokalitas daerah Probolinggo. Sehingga ketika saya memberi pertanyaan tersebut masih relevan dan tidak menyimpang dengan keinginan dan idealisme mereka.
Beberapa pemuda yang terlihat sangat rapi, bersepatu, bahkan jauh dari terkesan kumal itu sangat serius menanggapi pertanyaan saya. Bercengkerama dibawah sinar bulan yang mulai juga terasa dingin karena angin gending sudah mulai menghempas denyut nadi
Sangat berbeda sekali dengan beberapa diskusi beberapa bulan yang lalu. Mereka sangat terkesan banyak wacana dan menginspirasi terjadinya ide penggarapan film tentang kehidupan nelayan di Probolinggo. Film yang menceritakan bagaimana perjuangan seorang nelayan untuk menyekolahkan anaknya. Film tersebut pernah mendapat nominasi dalam festival film independent tingkat nasional. Bahkan karya mereka telah ditonton oleh ribuan orang di sebagian kota-kota besar
Ya. Mereka mengakui bahwa mereka lebih mengenal kali Mas Surabaya atau kali Bengawan Solo. Karena kali (Sungai) tersebut sudah tidak asing lagi dalam lingkup indera mereka, Bengawan Solo juga telah diabadikan menjadi bentuk lagu oleh Gesang. Sungguh sangat ironis sekali. Mereka yang mengaku concern dengan tema lokalitas Probolinggo juga tidak begitu paham tentang Kali Banger. Mereka seakan acuh tak acuh dengan keberadaan Kali Banger. Kesimpulan sementara saya istilah Banger telah pudar di kalangan sineas muda Kota Probolinggo. Semoga tidak terjadi pada generasi muda keseluruhan di
Di waktu yang sama, saya juga menanyakan letak Kali Banger itu sekarang. Hasilnya, mereka semakin terdiam tanpa bisa bicara apapun. Mereka sadar bahwa kebutuhan tentang tema lokalitas tidak berhenti pada pemaknaan fisik saja. Tapi juga pemaknaan sejarah juga sangat dibutuhkan. Kali Banger, disadari atau tidak merupakan peninggalan sejarah dan lokalitas dari
Saya jadi teringat lagi dengan kawan saya yang bekerja sebagai wartawan media di Probolinggo. Gagasannya sangat menarik bagi saya untuk diwujudkan. Mengadakan semacam ekspedisi untuk mengenal lebih dalam tentang fisik Kali Banger sekarang. Kegiatan itu didokumentasikan secara visual maupun non visual. Dengan harapan generasi muda