Friday, January 29, 2010

Cerpen : Curhat

Pulang, adalah sebuah kata yang sedemikian memaksaku benar-benar meninggalkan segala aktivitas di bangku perkuliahan yang benar-benar habis masa studinya tahun ini. Kata pulang juga bermakna bahwa aku tidak menjadi seorang mahasiswa lagi dan menjadi pengangguran. Ada sedikit rasa takut, juga gelisah dalam kepulanganku kali ini ke kota kelahiranku yang selalu membuatku rindu untuk menyapanya, ya Probolinggo. Takut akan lama mendapat pekerjaan, gelisah karena telah banyak perubahan yang tidak aku ketahui selama aku tinggal kuliah di luar kota .

Takut akan lama mendapatkan pekerjaan. Hal itu menjadi suatu momok bagi seorang sarjana muda yang baru lulus sepertiku. Sepertinya segala usaha untuk meluluskan diri dari bangku perkuliahan menjadi sia-sia pada fase ini. Bagaimana tidak, anggapan pengagguran yang melekat padaku kini sangat menyakitkan bagiku, bahkan juga keluargaku. Diriku akan menjadi pembicaraan hangat di komunitas ibu-ibu pencinta gosip di kompleks perumahanku. Jika lebih lama lagi aku mengganggur maka semakin banyak yang ikut komunitas gosip kompleks perumahan membicarakan diriku. Dan hal itu diperparah dengan asumsi mereka bahwa buat apa sekolah tinggi-tinggi jika harus menganggur nantinya.

Bagi diriku asumsi seperti itu menjadi suatu pukulan telak tanpa bisa kubalas. Aku telah di Knock-Out (KO) oleh ibu-ibu di kompleks perumahanku. Dengan sendirinya karena aku maka akan banyak anak-anak di kompleks perumahanku yang tidak akan pernah menikmati bangku perkuliahan nanti. Mereka tidak mau sepertiku seorang sarjana yang tidak mendapatkan pekerjaan.

Aku juga gelisah dengan perubahan yang terjadi di kota ini. Kota yang selalu membuatku rindu akan keharuman mangga arum manisnya. Ada beberapa pabrik baru telah didirikan di kota ini. Dengan begitu investor telah mempercayai kota ini untuk mengembangkan bisnisnya. Aku cukup bangga dengan perubahan itu. Namun juga tetap gelisah melihat perubahan ini. Jangan-jangan teman-teman semasa kecilku, dan teman-teman sekolahku juga berubah seperti kota ini. Dinamika kehidupan memang membuat perubahan-perubahan untuk menatanya menjadi lebih baik di masa yang akan datang.

Kegelisahanku semakin menjadi saat kutemui beberapa dari teman-temanku yang muda usia, energik, dan mempunyai latar belakang pendidikan yang tak kalah bagusnya dariku juga tidak mempunyai pekerjaan tetap. Mereka bersama-sama sepertinya mengeluh karena ketidak-pastian lapangan pekerjaan yang diinginkan. Bahkan yang lebih membuatku bersedih adalah banyak dari teman-temanku yang menjadi korban penipuan pengusaha yang nakal. Mereka memberlakukan sistem kerja kontrak. Selesai target selesai juga masa kerja yang sementara. Dan pada akhirnya menganggur lagi.

Semuanya menjadi suatu kesuraman. Padahal berapa kali mereka harus bersabar untuk mendapatkan kesempatan bekerja lagi. Salah siapakah ini. Atau memang betul seperti yang dikatakan oleh ibu-ibu kompleks perumahanku. Tak perlu sekolah tinggi-tinggi jika ujung-ujungnya hanya menjadi pengangguran. Biaya pendidikan mahal maka kubur sedalam-dalamnya menjadi anak kuliahan. Maka tidak terlalu rugi mengeluarkan biaya sekolah, cukup SMP atau SMA sudah bagus.

Namun adakah kita rugi menimba ilmu? Padahal ilmu adalah hak segala manusia untuk mempelajarinya. Hak dasar hidup yang paling hakiki karena hak tersebut diatur oleh pemerintah dalam undang-undang. Tapi apa lacur semua hanya omong kosong. Aku hanya menjadi sampah di mata ibu-ibu kompleks perumahanku. Hanya karena aku tak mendapatkan pekerjaan. Dan tak terasa sudah setahun aku mengganggur selepas wisuda.

Aku melihat gurat kekecewaan yang mendalam pada kedua wajah orang tuaku. Kecewa karena anaknya yang tak kunjung mendapat pekerjaan. Kecewa karena tidak berhasil penuh mengantarkan cita-cita dan harapan di banyak keluarga lainnya. Kecewa kenapa mereka dulu tidak mengikuti saran dari keluarga Buntari yang sekarang anaknya sukses mendapatkan pekerjaan menjadi seorang polisi yang gagah.

Ya. Aku ingat betul pak Buntari bersama keluarganya. Anak sulung pak Buntari adalah temanku waktu SD dulu. Si sulung itu bernama Rasyidin. Sebenarnya umurnya lebih tua dariku karena tidak naik di kelas empat dan lima maka ia sekelas denganku di kelas enam. Aku tahu betul Rasyidin memang tak sepandai aku untuk menangkap pelajaran dan memahaminya. Hingga ebtanas pun ia banyak mencontek dari hasil pekerjaanku. Aku tak berani untuk menolak untuk memberikan jawaban. Aku takut tangannya yang besar mendarat telak di pipiku.

Rasyidin dikenal sebagai jagoan di SD ku. Tidak ada yang berani menentang kemauannya. Atau harus berakhir dengan babak belur juga jika tetap ngotot menolak kemauannya. Selepas SD aku tak bersama dia lagi. Aku bersekolah di SMPN 1, termasuk salah satu SMP yang unggul di kotaku. Sedang Rasyidin bersekolah di SMP Setia Bayuangga, sebuah sekolah swasta. Begitupun juga ketika menginjak sekolah SMA aku diterima di SMAN 1, Rasyidin meneruskan sekolah di STM swasta.

Selepas STM itulah Rasyidin mendaftar menjadi seorang polisi. Tak tanggung-tanggung pak Buntari juga mendukung sepenuhnya keinginan anaknya. Demi menjaga gengsi sebagai orang yang cukup terpandang dan terkaya pak Buntari mendukung secara batin dan secara finansial. Pak Buntari juga tidak sedikit menganggarkan finansial Rasyidin agar diterima di satuan berbaju coklat tersebut. Dan harapan juga keinginan Pak Buntari dengan Rasyidin terjawab sudah dengan diterimanya Rasyidin sebagai anggota polisi Republik Indonesia . Bangga tentunya mereka berdua. Tak seperti orang tuaku yang harus gigit jari melihat aku. Padahal mereka juga menganggarkan finansial yang tidak sedikit selama membiayai kuliahku.

Ada sedikit penyesalan dalam hatiku jika melihat kondisiku saat ini. Rasyidin yang kurang pandai bahkan pernah tidak naik kelas diterima menjadi seorang polisi. Sedangkan aku. Sebagai seorang bintang kelas mulai dari SD,SMP, dan SMA, bahkan di bangku perkuliahan aku hanya bisa menahan keinginanku untuk bekerja di perusahaan sesuai bidang ilmu civitas akademika. Tapi sampai sekarang aku hanya menjadi seorang pengagguran. Dan itu menyakitkan.

***

Pergi dan berlalu. Memanjakan kaki. Memberi yang belum pasti diberikan. Agar mencukupi. Makna yang belum selesai dijamah oleh kemanisan pengertian. Walau akhirnya hanya seperti itu. Yang penting kita telah bersusah dalam prosesnya. Hasilnya akan menyenangkan dengan keringat yang tak berhenti mengalir.

Seperti pagi ini. Aku melihat senyuman yang tak mati dilabrak mentari. Terus saja mengembangkan senyumannya. Tak henti. Tak juga memikirkan giginya akan kering dibuatnya. Aku menjadi tak mengerti penuh. Hanya karena itulah ia digaji. Dengan bermodal senyum. Dan tangannya yang penuh dengan brosur cara meng-kredit mobil. Aneh.

Beberapa kali tangannya menyodorkan brosur kepada orang yang berlalu lalang di depannya. Tak sungkan beberapa laki-laki yang terihat parlente berusahanya dirayu dengan melempar senyum pula. Yang dirayu hanya cengengesan karena merasa masih jauh dari standard untuk membeli yang ada di brosur tersebut. Ia berpakaian parlente karena ada wawancara kerja di pertokoan ini juga.

‘Ini murah lo mas, bunga kreditnya turun hingga dapat dijangkau masyarakat luas.’ Bujuk si Gadis.

‘Itu memang betul Mbak, tapi saya lagi gak berminat. Lain kali saja ya.’ Ujar pemuda yang bergaya parlente tersebut.

‘Dipake pribadi juga tidak terkesan norak modelnya. Ayo ke meja saya, nanti saya jelaskan cara dan bagaimana angsurannya.’ Tetap si gadis merajuk pemuda tersebut.

‘Maaf mbak, lain kali saja. Saya terburu-terburu.’ Kata pemuda itu sambil meninggalkan gadis itu sendiri.

Ada sedikit kecewa pada garis-garis wajah si gadis tersebut. Maka ia terduduk lesu. Di kepalanya banyak carut-marut pikiran yang belum terselesaikan atau ketemu solusinya. Ada target penjualan yang harus dipenuhi olehnya pada bulan ini jika ia masih ingin menerima gajinya keluar beserta bonus-bonusnya. Ada biaya rumah sakit yang harus ia bayar karena ibunya sakit kencing manis dan harus diopname di rumah sakit.

Sebentar kemudian ada seorang yang berperawakan sedikit tambun, pendek dan sedikit botak sedang serius melihat salah satu mobil di stan si gadis tersebut. Si gadis tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Si gadis itu tersenyum seperti mendapatkan ide untuk menggaet calon pembeli yang berperawakan sedikit tambun, pendek dan sedikit botak itu. Ia merapikan rambutnya yang lurus menghujam bumi. Kancing teratas dari bajunya ia buka sehingga terlihat belahan dadanya yang ranum dan putih. Segera ia melangkah pasti kepada calon pembeli tersebut. Ia tersenyum penuh arti, matanya nakal menelanjangi belahan dada si gadis tersebut. Perangkap si gadis telah benar-benar menjerat calon pembeli tersebut. Satu target sudah dipenuhi pikir si gadis.

Di satu sudut pertokoan mataku menatap tajam kepada si gadis dan calon pembeli tersebut. Entah kenapa pelan merambat rasa panas hawa cemburu menjalar di hatiku. Siapa yang tak panas jika melihat adegan itu. Apalagi si gadis tersebut adalah pacarku. Ingin aku menghajar calon pembeli tersebut dengan tinjuku. Tapi apakah aku sanggup membiayai ibu pacarku yang sekarang tergolek lemah di rumah sakit jika kuganggu calon pembeli itu untuk membeli. Selain pacarku akan kehilangan konsumennya, ia juga tidak akan memenuhi target penjualannya sehingga ia tidak bisa membayar biaya rimah sakit ibunya. Akhirnya aku hanya pasrah sebagian tubuh indah pacarku ditelanjangi oleh calon pembeli tersebut.

***

Andai ku tak menganggur. Seberat inikah aku menjalani hidup sebagai pengagguran. Mengecewakan orang tua, menjadi pembicaraann ibu-ibu di kompleks perumahanku, sebagai penonton pekerjaan pacarku yang semi menjual diri. Ahhhhh … kenapa begitu sulit mencari pekerjaan di negeri ini. Padahal secara akademis aku di atas rata-rata. Aku juga lulus tercepat dan mempunyai indeks prestasi lumayan tinggi.

‘Anakku, tadi ibu menerima surat dari Pos. Buat kamu sepertinya. Ibu ndak ngerti soale pake bahasa Inggris. Ini suratnya.’ Tepukan ibu di pundakku membuyarkan lamunan klangenanku pada masa kecilku.

‘Terima kasih bu.’

‘Apa isinya?’

Aku merobek amplop surat itu dan segera membacanya. Di sudut kertas surat itu ada stempel bertuliskan Leiden Wood Factory.

‘Ibu, Risvan diterima kerja di Belanda dan mendapat beasiswa meneruskan sekolah S2 di sana . ‘ teriakku

‘Alhamdulillah, Ibu khan pernah bilang, yang sabar. Tuhan nggak akan tidur melihat umatnya menderita.’

Aku semakin berbinar. Pikiranku hanya tertuju kepada Eluis pacarku. Aku berhasil sayang menaklukkan dunia. Aku bisa keluar dari pengagguran ini walau harus merantau ke negara yang jauh.



Probolinggo, 3 Juni 2008

Buat bangsa bangsat

Arya be a positive #2

No comments: