Friday, January 29, 2010

Cerpen : Si Opini Malam

Bualan-bualan ini sudah menggumpal tepat di ubun-ubun dan siap meledak kumuntahkan ke wajah yang tak bernama. Lalu kubalut saja muntahku menjadi tinta yang siap menulis ratusan kata. Pikiran dan pemikiran yang tertulis tidak terfokus pada suatu rumusan masalah. Absurd. Betapa tidak, doktrin-doktrin yang menghantamku –tentunya dari sumber bacaan- membuat limbung pemikiran yang tertata rapi dan tertanam sejak lahir.
Kurang lebih seperti itu kondisiku. Ke-limbung-an semacam ini kerap meliputi diriku. Aku telah terbiasa menikmati ranumnya tubuh ke-limbungan-an yang kubangun sendiri dari pondasi-pondasi idealisme. Terkadang tubuhnya yang sintal terasa indah bahkan secara sadar aku sangat menikmatinya. Menikmati keresahanku sendiri yang semakin melarut.
Sebagian menguap membumbung ke langit ideologi. Sebagian mengendap menjai lumpur perenungan kalbu. Otakku sejenak mikir. Apakah aku terlalu dini memberi pertanyaan pada dunia atas fenomenayang terjadi untuk waktu sekarang ini. Pertanyan itu menyudut dan memojokkan aku. Seakan otakku digaris-bawahi oleh ketidak-siapanku untuk menyambut jawaban yang dibuat dunia.
Jelas saja aku hanya memegang bayang-bayang. Tidak nyata. Semu. Segala idealisme, segala doktrin, segala candu mengental hitam dan mempengaruhi pola pikir. Pola pikir ini semakin diurut semakin memberi varian soal yang tak berujung batas. Varian inilah yang menjajah kedua otakku. Kiri maupun kanan. Depan maupun belakang. Jajahan ini mendulang emas di pikiranku. Aku sendiri makin limbung. Makin bodoh. Makin tersesat pikir.
-Emancipate your self from mental slavery-
Begitu sederhananya barisan huruf yang tercipta dari seorang Bob Marley. Tetapi sulit dicerna apalagi melaksanaknnya. Aku sendiri masih diperbudak oleh pola pikir budaya yang sudah ada sebelum aku lahir. Budaya itu melekat pada diriku walaupun aku tak menghendakinya sebagai warisan pola pikir yang harus diterima dengan segala hormat. Terkadang aku memahami budaya itu seperti jeruji besi penjara. Memasung kebebasanku. Tidak ada sisi terang yang kutanmgkap darinya. Atau kenapa aku harus lahir jika harus menjadi budak budaya. Bahkan sempat aku berpikir kenapa aku harus lahir jika harus menjadi budak Allah. Ini keterlaluan. Hal seperti itulah yang kadang-kadang -mendogma- menjadi pertentangan otak dan berakhir dengan pecahnya syaraf di ubun-ubun.

“Kenapa kau masih membaca buku-buku yang telah meracuni otakmu itu?”
“Ah Ibu. Ibu tidak pernah mengeti dan tidak pernah mau mengerti.”
“Ya, Ibu memang tidak pernah mengerti denganmu sekarang, yang Ibu tahu kamu Ibu kuliahkan untuk mencari pekerjaan yang layak. Bukan hanya melamun tanpa usaha. Putra Ibu telah berubah.”
“Semua yang hidup pasti berubah.”
“Ibu tidak ingin perubahan itu menenggelamkanmu dalam kenistaan pikir.”
“Tidak akan Ibu. Aku masih belum mendapatkan jawaban yang aku cari dan tak akan menyerah begitu saja.”
“Anakku, ketahuilah bahwa buku bualan itu tidak akan abadi dan tidak mungkin engkau menemukan jawaban di sana.”
“Untuk itulah aku terus mencari.”
“Buku itu adalah sebuah pembenaran yang bersifat sementara sebelum teori lain muncul untuk menyempurnakannya. Kamu tidak perlu mencari karena di kitab suci telah tertulis jelas atas pertanyaanmu.”
“Aku sulit memahaminya.”
“Kamu tidak akan pernah memahaminya sebab kamu tidak pernah mau memahaminya.” Lantas Ibu pergi meninggalkanku.
Monolog dengan hatiku kembali terjadi. Kali ini bertambah berat. Mungkin saja perkataan Ibu benar. Bisa juga meragukan. Sebab aku juga tak pernah mengkajinya. Kita hidup pada zaman dimana logika menjai tolak ukur dalam mencari pemecahan atas masalah.sedang buku usang (=Kitab Suci) itu telah berusia ribuan tahun yang lalu. Apakah masih mungkin meyesuaikan dengan zaman ini.
Sesungguhnya pertanyaanku cukup sederhana. Semuanya masih berkutat seputar kehidupan. Namun hingga saat ini tidak bisa di temukan jawabnya. Kenapa harus hitam. Kenapa harus putih. Kenapa baik. Kenapa buruk. Kenapa kaya. Kenapa miskin. Kenapa bahagia. Kenapa menderita. Kenapa ?????. lantas pertanyaan itu apakah ada jawabnya. Inilah letak misterinya. Ratusan buku filsafat sudah mampir di otakku. Tapi belum ada yang jelas menjawabnya secara gamblang. Mau tidak mau aku merasa dituntut untuk mencarinya. Kepuasan yang tertunda ini menuju ke titik kulminasi –muksa- dari segala aspek diri manusia. Tentunya buah pencarian ini merubah pola pikir menjadi tenang.
Semua semakin pecah. Kembali lagi pada pemikiran-pemikiran yang membuatku lebih tidak ngerti apapujn. Menghitam saja. Nikmati dan teguk pertanyaan yang tak pernah terjawab. Makin limbung lagi. Makin pudar cahaya atas jawaban. Apakah hanya dongeng ketika membaca Al-Qur’an kau akan mendapatkan ketenteraman jiwa persis kata ustadzku dulu.
Si Ali yang setiap hari sering membacanya di Mushola bareng anak didiknya juga masih melakukan tindakan yang kurang baik di mata agama dengan mengaku-ngaku nabi. Bahkan si Yusuf yang sering memberi dakwah di kampungku ternyata juga sering ke tempat pelacuran dengan sembunyi-sembunyi. Atau kota yang berjuluk Serambi Mekah pun tak luput dari amuk Allah. Hampir sebagian penduduknya mati mengenaskan di terjang ombak Tsunami. Jadinya makin parah bukan. Apakah dengan membacanya aku bisa menemukan jawaban atas pertanyaanku selama ini.
Kehampaan jiwa ini seperti pasir di tengah gurun sahara. Atau seperti setetes air di dalam lautan. Semua hal sama di atas kesamaan materi yang lainnya. Seperti dan seperti lalu seperti menjadi seperti. Logika invalid yang baru kutemui. Bingung. Kontradiksi. Hal ini menyebabkan jiwa-jiwa liar ku semakin menjadi-jadi untuk tak mengakui adanya Dia. Betul. Dan aku akan mentransfer ke otak manusia dengan pemikiran yang sama seperti pemikiran invalid yang kurasakan. Rasakan juga kegelisahanku malam ini kawan.

“Tidak. Itu tidak benar. Itu kesimpulan yang sangat awal dan belum bisa dijadikan tolak ukur pembenaran.”
“Kenapa juga mesti salah?”
Tidak berubah sama sekali.
Nada bicaranya juga masih sama. Jujur namun ada unsur tegas di sana. Kejujuran itu yang membuatku lelah dan depresi. Masih terbayang jelas awal pertemuanku dengan mahluk yang satu ini. Sebenarnya ia hanya seorang gadis muda seperti yang lainnya. Akan tetapi setiap kata yang keluar dari mulut mungilnya begitu lembut dan menyudutkan lawan bicara tanpa harus membuat tersinggung. Bidadari tanpa sayap. Ah. Terlalu memuji kurasa. Ia hanya gadis. Ya hanya gadis bau kencur.
Aku masih ingat betul. Ibu menyuruhku menjemputnya di stasiun siang hari itu. Aku harus menahan air mukaku karena kelakuannya. Sudah menunggu berlama-lama di stasiun untuk menjemputnya. Tapi apa lacur. Aku harus pulang sendiri juga. Dia mengirim kabar tidak jadi ke Probolinggo dengan alasan yang terkesan dibuat-buat menurutku. Ada urusan mendadak begitu ujarnya. Apa dia anak presiden yang mempunyai seabrek kegiatan di bumi pertiwi ini sehingga aku harus memaklumi jadwal kegiatannya. Tapi alasan itu terlambat. Aku sudah menunggunya di stasiun lebih dari dua jam. Dan itu menjengkelkan.
Kesal. Dua jam lebih itu aku habiskan dengan melihat rel kereta api yang tetap saja membujur kaku. Hujan pun semakin menambah lengkap penderitaanku kala itu. Dan, gadis pemilik wajah renyah itu ada di hadapanku sekarang. Berbincang pada gugusan bintang malam ini. Suara lirih angin membuatku sadar bahwa mahluk ini benar-benar membuat keindahan malam ini mulai terusik. Sedari sore tadi ia membuatku kesal. Ibuku dibiusnya dengan manis mulutnya berkhotbah. Ia adalah seorang anak kenalan ibuku. Aku semakin curiga bahwa ia suruhan ibuku untuk memberi khotbah padaku juga. Jika itu benar terjadi kau salah orang malam ini.
Gadis bau kencur. Lawanmu adalah mahasiswa filsafat teologi tingkat akhir. Tak mungkin aku dikalahkan adu argumen dengan gadis yang baru semester dua. Katanya juga kau ketua Lembaga Dakwah Kampus. Tapi maaf aku tidak takut sama sekali. Sudah lama aku ingin mempunyai kesempatan untuk bicara langsung ke kamu. Bidadari tanpa sayap. Atau lebih tepatnya bidadari berbibir dower karena kebanyakan khotbah palsu.
“Kamu hanya menyimpulkan dari datamu sendiri. Si Ali, si Yusuf, maupun Aceh. Kamu tidak pernah melihat dari data yang lain.” Jawabmu datar sesudah aku membuka wacana pemikiran baru tentang eksistensi Allah.
“Tapi kamu harus mengakui bahwa mereka juga tidak pernah memahami Al-Qur’an yang rajin mereka baca.”
“Mereka belum benar-benar memahaminya. Mereka hanya membaca sebagai ritual yang menjadi suatu kewajiban saja bagi mereka.”
“Maksudmu?”
“Ada banyak peristiwa yang mungkin kamu contohkan dan meracuni otakmu. Contoh demikian jika diselami memang akan merangsang otak kita untuk berpikir. Berpikir tanpa landasan adalah pembodohan tak kentara.”
“Maksudmu aku bodoh karena berpikir tanpa landasan? Aku banyak membaca buku tentang filsafat eksistensi Allah di alam jagad raya. Terus kenapa Allah bersusah payah jika tahu nanti Ia akan merusaknya jika ada manusia yang tidak patuh kepadanya. Memberi kebebasan pada kita di muka bumi tapi juga dijadikannya kita sebagai budak-Nya. Lalu apa salah aku mencontohkan seperti itu?”
“Hal itulah yang membuatmu terjebak berpikiran yang semakin membuat buruk citra kemurnian Al-Qur-an itu sendiri dan keagungan Allah. Kesalahan itu bukan karena Al-qur’an tidak bisa memberi tuntunan pada contohmu tadi atau bukan berarti Allah marah dan memberikan bencana tersebut.”
“Lalu”
“Bukanlah dogma pada Al-Qur’an yang salah atau Allah ingin disembah oleh mahluk ciptaannya. Akan tetapi, seringkali manusia mulai mengusik wacana agama jika ada tindakan yang menyimpang dari konvensional dari budaya mereka. Dan yang lebih parah ketika pupusnya keyakinan hanya dikarenakan adanya data sepotong yang dicerna sendiri.”
“Jadi letak kebenarannya dimana?”
“Tidak ada yang dapat menentukan benar dan salah. Hal itu adalah tolak ukur Allah pencipta semesta beserta isinya.”
“Kenapa juga mereka melakukan hal-hal bodoh ketika ia tahu dan rajin membaca Al-Quran. Atau mengakui bahwa mereka hamba-Nya yang harus patuh dan taat pada Allah.”
“Hal itulah yang membedakan keimanan seseorang terhadap Allahnya. Mereka hanya bisa membaca Al-Qur’an namun jarang mengkaji arti kandungan dalam setiap ayatnya. Atau jangan-jangan kamu juga termasuk orang-orang yang seperti itu?”

Blllllaaaaaaammmmmmm
Mulutku jadi terkunci rapat sekali. Hanya mataku yang segera mengamati tubuh di depanku ini. Telingaku hanya ingin mendengar setiap detail ucapannnya lagi. Kalimat terakhir itu benar mengena tepat di otakku.
Cakrawala terbuka lebar dari jendela ke-absurd-an argumen. Otakku disiram air jernih bertabur mutiara kata. Kenapa aku begitu bodoh dihadapnya. Jelas aku tidak pernah memahami al-Qur’an. Membacanya pun aku patut dipertanyakan. Malah mebaca buku tentang pemikiran orang Atheis yang tidak mengakui keagungan Allah. Konyol sekali aku menarik kesimpulan. Aku membatu. Diam. Bisu. Bagai malam ini yang dipenjara gelap.
Ibu. Mahluk apa yang kau kirikan padaku malam ini?


Probolinggo 17 Juli 2008
Rahasia kekasih imaji yang sadarkan aku

No comments: