Friday, January 29, 2010

Cerpen : ARYA

Aku membaca pikiranmu. Tak pernah berharap kau membaca pikiranku juga. Cukup hanya aku yang tersayat perihnya mimpi dan tak ingin membagikan kepadamu. Karena semua ini pasti sulit untuk dijalani bersama. Seberapa kuatnya cinta kita bertengger dalam pusaran waktu, tetap saja kalah dengan rasa kebosanan yang tiba-tiba merayap dalam hitungan tahun. Kau dan aku tak benar-benar sama. Tak benar-benar kuat. Sedangkan kita berdua terikat. Tak pernah menginginkan ikatan itu benar-benar terlepas. Sementara kegelimangan dunia terus menarik-narik untuk membuka simpul ikatan kita yang semestinya tak rapuh dengan waktu.
Sebenarnya kita bisa saja menyerah dan melepas ikatan tersebut. Tetapi kuasa hati mencegahnya. Menolaknya. Demi melihat permata yang kita buat dengan sayang pada matahati. Permata yang merengek jika malam kehabisan sumbu gelapnya. Aku dan kamu saling tergopoh memberi terang cahaya agar ia berhenti merengek. Walau aku hanya mengusap rambutnya. Cukup menenangkan hatimu dan ia.
Segera pamit dan undur diri dari pikiran yang menghinaku habis-habisan pada malam terakhir menjadi seorang bijak. Dan esok kembali pada kejadian yang selalu berulang. Merapikan meja kantor kepala sekolahku. Membersihkan halaman sekolah. Membuka pagar gerbang. Lalu santai sejenak dengan menghisap rokok dan segelas teh hangat. Aku juga membuat kopi dan teh buat para guru yang lain. Sedangkan kamu mencuci pakaianku, memasak, membersihkan rumah, dan memelihara permata kita. Dan permata kita, selalu juga sama. Merengek jika kehausan, merengek jika ngompol, merengek jika lapar.
Aku akui beban kita sama-sama berat untuk memberi yang terbaik untuk permata kita. Namun itu semua kita melakukannya dengan ikhlas. Tak pernah terbayang sedikitpun melihat permata kita jatuh dan menangis tersedu-sedu tanpa ada kita disampingnya. Namun kita masih lemah merawatnya. Sering terlambat memenuhi kebutuhannya. Padahal kita sudah bersusah sungguh memenuhinya. Agar ia tak merengek. Agar ia tak menangis. Agar ia tak kurang gizi.
Sayang tak pernah permata kita mengetahui dan menyadari. Ia tetap saja merengek dengan lengkingnya. Tak perduli aku sudah seharian lelah di kantor. Tak perduli kamu seharian menjaganya. Permata hati kita memang sedikit nakal. Agak egois dengan kemauannya. Tapi kita teramat sayang padanya. Teramat mencintainya. Dan kecintaan itu kini berubah menjadi suatu perasaan kasihan jika tak memenuhi permintaannya. Tapi hidungnya mirip denganku. Lihatlah mancungnya. Aku merasa sempurna diriku disana. Ya. Di hidung mancungnya.
”Mas, susu Arya habis.”
”Apa...? Empat hari yang lalu aku membelinya. Sudah habis?”
”Tiada tersisa, mas.”
”Arya seperti gentong saja. Susu hanya mampir dan kemudian memendar dalam tubuhnya yang putih.”
”Mas, anak kita bukan gentong. Anak kita kesatria. Wajar jika ia lain dengan anak seusianya.”
”Tapi bapaknya kaum Sudra. Mana mungkin memenuhi kebutuhan kaum kesatria.”
”Susuku sendiri hanya mampir tragis di penghujung dahaganya. Dan ketika Arya mulai merengek memintanya lagi, kejot-kejot payudaraku semakin terasa. Perih mas. Dan tak mengeluarkan susu lagi.”
”Oh…anak lelakiku. Kau belum juga besar. Kau belum juga kekar. Tapi layaknya kesatria. Aku tak pernah bisa untuk tidak menurutimu.”
”Seharusnya kita memang memberikan yang terbaik buat Arya.”
”Aku berusaha semampuku. Ini semua buat Arya.”
Arya kembali merengek tanpa dosa. Istriku mulai panik. Ia mengambil pemompa payudara. Ia banyak berharap susunya keluar lagi. Dan tidak lama kemudian memang benar. Susunya keluar dibarengi senyum meringis menahan kesakitan yang amat dalam. Dan Arya melumatnya dengan rakus. Aku keluar. Tak tega melihat istriku seperti itu.
Segalanya berubah hari ini tentunya. Tak jadi lebih baik. Malah semakin buruk. Dari tadi pagi perutku belum tersentuh nasi secuilpun. Begitu juga istriku. Uang makan kuhamburkan pada toko depan rumahku membeli susu yang semakin membuat Arya keranjingan memecutku. Memecutku untuk lebih bekerja keras membelikan susunya kembali.

`````
Pagi itu Arya sangat manis. Istriku mendadaninya seperti kesatria. Aku sangat ingin menggendongnya. Sayang istriku telah sigap membungkusnya dengan selendang dan menggendongnya. Kemudian berjalan ke arahku.
”Ayo mas, takut panas kalau terlalu siang.”
”Iya. Ayo.”
”Mas sudah menelepon bahwa hari ini kita akan ke rumah pak Rudy khan?”
”Sudah.”
”Aku hanya mengingatkan. Aku tahu kamu sering lupa dalam segala hal.”
”Jika buat Arya mana mungkin aku lupa.”

`````
Sepedaku mulai merambat melaju pelan. Di belakangnya istriku terdiam menikmati angin. Udara pagi hari ini sedikit tercemar dengan beberapa pick-up yang hilir mudik mengeluarkan asap pekat. Pick-up itu mengantarkan para petani menuju ke pasar. Menjual hasil jerih payahnya berbulan-bulan ke tengkulak. Aneka sayur-mayur yang cukup subur tumbuh di desa Kareng Lor membuat senyum petani benar-benar istimewa saat musim panen kali ini. Panen yang menguntungkan. Wajah para petani itu begitu kekal. Terpampang pada gurat wajahnya yang tak menua karena usia.
Aspal yang banyak berlubang membuka perjalanan pagi ini. Aku harus mengayuh sepedaku menuju ke desa Wonoasih. Dari sana lalu aku akan ke arah kiri menuju perumahan Prasaja Mulya di pinggir kota Probolinggo. Pak Rudy tinggal disana. Pak Rudy adalah kepala sekolah tempat aku bekerja. Aku hanya sebagai pembantu sekolah di tempat Pak Rudy. Ia sangat baik padaku dan karyawan-karyawan lain. Tak pernah membeda-bedakan.
Aku sangat tahu pak Rudy. Ia lulusan universitas terkenal di Jakarta. Bahkan gelar doktor baru ia terima dua bulan yang lalu. Wajahnya menarik walau telah berusia kepala empat. Istrinya seorang pegawai bank swasta. Masih terlihat menipu pada usianya yang juga kalau nggak salah 37 pada tahun ini. Banyak orang tidak percaya jika istri pak Rudy telah berumur dan menyangka usianya masih belia. Hidup mereka sangat berkecukupan tentunya. Sayang masih belum punya keturunan.

`````
”Oh pak Kardiyo. Bersama istri juga, tho.”
”Iya pak.”
Sesaat setelah sampai di depan rumah pak Rudy itu, ia mempersilahkan aku dan istriku duduk di serambi depan rumahnya yang asri. Ada kolam koi nyempil di pojok rumahnya. Sehingga langsung terpandang mata saat duduk di depan serambinya. Rumah itu kelihatan nyaman. Tak lama, istri pak Rudy keluar membawa minuman dan makanan ringan.
”Nggak usah repot-repot, Bu.” sapa istriku berbasa-basi mencairkan suasana.
”Ah nggak kok. Kebetulan ada, Bu Kardiyo.”
Lalu pak Rudy menatapku sebentar kemudian memulai pembicaraan.
”Bagaimana pak Kardiyo? Sudah dibicarakan dengan istri tentang niat kami?’
”Sudah pak.”
”Lalu?”
Aku menatap mata Arya yang terus berada di gendongan istriku. Ia tampak gagah bersembunyi di ketiak istriku. Kulitnya yang kuning tak menampakkan seperti anak dari keluarga yang hanya bermodal cukup. Cukup buat makan hari ini. Cukup untuk mbayar listrik kontrakan dan cukup untuk membeli keperluan yang pokok saja. Aku iri dengannya. Kenapa tidak aku saja yang tenggelam dalam ketiak istriku dan ia yang berbicara dengan pak Rudy.
”Pak Kardiyo…”
”Maaf pak, saya jadi melamun.”
’Tidak apa-apa. Bagaimana?”
Aku tiba-tiba tersentak dan entah keberanian dari mana sekonyong-konyong menuntunku berbicara pada pak Rudy.
”Maaf pak Rudy. Saya sudah merundingkan niat bapak dengan istri saya. Terus terang saya sangat berat untuk mengatakan ini kepada bapak.”
”Jangan sungkan pak Kardiyo.”
”Iya pak. Karena kebaikan bapak selama ini saya merasa sulit untuk membicarakan niat bapak kepada istri saya.”
”Ya, saya mengerti sepenuhnya.”
”Saya dengan tidak mengurangi rasa hormat menolak niat bapak untuk mengadopsi anak kami.”
Istriku terkejut. Jawabanku tak seperti yang ia duga. Sungguh sangat melenceng dengan perkataanku tadi malam. Bahkan istriku juga sudah mengijinkan Arya di adopsi pak Rudy. Tapi aku tahu. Aku sangat tahu istriku. Arya tidak menginginkan itu terjadi. Lihat hidung mancungnya. Sempurna milikku. Aku takkan tega ia jauh dariku. Aku akan memberinya susu terbaik dengan keringatku. Aku menjaganya dengan sepenuh jiwaku. Tidak istriku. Aku tidak rela jika Arya tidak memberi senyum padaku saat pagi hari ketika aku berangkat kerja. Biarlah istriku. Aku akan menjadi kerbau yang lebih keras lagi mencari pundi-pundi uang tambahan untuk membeli susu Arya.
Sebab hidung Arya mancung. Sempurna diriku di hidungnya. Tak seorangpun dapat memisahkannya dariku. Maafkan aku istriku. Tapi aku berjanji. Payudaramu tak akan kubiarkan perih saat dilumat Arya.

Tetep di kamarku
sejuta ide yang hanya menunggu waktu,
jam 4.30 kuselesaikan coretan ini.
Pagi yang indah.
Dan aku sendiri menahan kerinduan yang menyiksa.

No comments: