Friday, January 29, 2010

Cerpen : SULUR-SULUR KEHIDUPAN

‘Kau mencintaiku?’
‘Ya. Aku mencintaimu’
‘Maukah kau menikah denganku?’
‘…’
Dan di depan ruang tamu rumahmu kau bertanya padaku dengan nada berat, setelah kau juga menghela napas panjang. Sebagian tubuhmu kau angkat memberikan kesan penguatan atas pertanyaanmu. Sekilat matamu telah meluluhlantakkan pertahanan hatiku. Aku goyah, dan juga bimbang atas pertanyaanmu. Aku benar-benar membatu bisu di hamparan kata-katamu atasku.
‘Aaa…aaa…aku’
‘kenapa? Kau masih ragu dengan keputusanmu mencintaiku?’
‘Bukan begitu, aku tak tahu kenapa, aku belum berpikir kesana.’ (aku menjawab sebisanya)
‘Bukankah dirimu sendiri yang menginginkan hubungan kita lebih serius bukan?’
‘Iya, tapi …’
‘Tapi kenapa?’
‘Aaa…aaa…ku…’
Percayalah bukan dengan jalan ini kita menyelesaikan ujung pembicaraan ini. Aku tahu banyak tentangmu. Tapi belum cukup bagiku untuk mengerti pola pikirmu. Sepertinya selalu ada yang baru di kepalamu. Saling antri untuk keluar dan menjadi topik untuk dibicarakan. Hingga sering kita harus berpanjang-panjang membahas masalah kecil yang seharusnya tak perlu menguras energi besar.
Karena sejatimu adalah perempuan langit. Memberikan teduh bagiku yang ingin bernaung dan memimpikan terbang bersamamu. Aku tahu kamu menjadi gelisah atasku. Aku tahu semua itu. Tapi benarkah harus kuucapkan jujur kepadamu atas alasanku. Tentunya ada banyak alasan untuk tidak mengatakan ini kepadamu. Dan tak perlu kau meragukan pernyataan cintaku padamu. Karena sejatiku adalah laki-laki.
Lalu kau jadi semakin mendesakku. Dengan segala kalimat yang kau susun agar benar-benar lembut menyentuh telingaku. Dan memang ternyata benar ucapmu telah sampai ke telingaku dengan lembut. Namun jika telah sampai ke hatiku seakan-akan kalimatmu berubah menjadi tanaman sulur yang mengikatku erat. Sampai-sampai untuk bernapas pun aku harus bersusah payah.
Sungguh sayangku. Aku masih ingat awal kali kita dipertemukan oleh takdir yang menderas jeram pada sebagian hidup kita. Dirimu sangat cantik waktu itu. Dan juga tampak keceriaan yang benar-benar dimiliki oleh seorang perempuan yang beranjak dewasa. Dan aku hanya bisa terdiam menikmati keindahan yang memang bukan untukku. Kau masih pacar kawanku saat itu.
Namun bisa-bisanya aku berharap lain pada hari itu. Padahal nyatanya kau memang sulit untuk aku rengkuh sekalipun hanya mimpi. Jangankan mendambamu, hari itu aku bahkan tak terhirau dari kawan-kawanmu yang lain. Dan tragisnya setelah pertemuan singkat itu kamu terus menghilangkan jejak atasku. Aku juga hanya menganggap dirimu sebagai hal yang harus datang dan pergi di kehidupanku.
Tetapi takdir berkata lain. Sesaat ketika aku hampir melupakanmu dalam ingatanku kau datang kembali pada kehidupanku. Sengaja ataupun tidak, namun membuat kita cukup dekat akhirnya. Dirimu yang selalu dikelilingi masalah dan aku yang berada di dekat masalahmu.
Entahlah. Jika kupikir-pikir kembali kita sepertinya terkena kutukan untuk tidak bisa saling menjauhkan diri. Selalu beberapa masalah yang muncul akan berujung dengan mendekatkan dirimu kepadaku kembali. Dan anehnya aku sangat menikmati permainan takdir yang membuatmu selalu dekat berada di sekeliling hidupku.
Dirimu juga pasti ingat saat menangis menceritakan semuanya kepadaku tentang sakitnya dicampakkan oleh pacarmu yang tak lain juga kawanku. Aku masih ingat semua ceritamu dengan detail bahkan urut waktu. Sehingga tak ada yang lebih tahu tentangmu selain diriku, bahkan orangtuamu juga tak pernah tahu sedetail aku tentang kisah hidupmu.
Beberapa bagian dariku bangga bisa menjadi sesuatu yang mengisi relung hatimu. Bisa memberikan motivasi untuk terus menjalani hidup. Bisa memberi sedikit terang pada jalanmu yang selalu muram. Karena menjadi terang dalam kehidupanmu bagiku sama saja seperti saat dirimu menerima cintaku.
Lalu masihkah kau meragukan cintaku. Setelah banyak yang harus kudengar darimu. Setelah aku menjadi teman curhatmu. Setelah aku berusaha menjadi sandaranmu. Setelah aku mencoba menjadi yang terbaik untukmu. Setelah aku telah menjadi terangmu untuk menjalani kehidupan di masa-masa yang akan datang.
***
‘Kenapa diam mas?’
‘Ha… ngggghhh…nggak kok.’
Aku menjadi kaget saat dirimu membuyarkan lamunanku dengan pertanyaanmu. Sungguh hari ini kau menjadi lain di mataku. Seolah-olah kau menjelma menjadi putri yang membawa sesuatu di tanganmu dan kau sembunyikan di belakang tubuhmu. Sehingga membuat aku hanya bisa menduga-duga apa yang ada ditanganmu. Racunkah atau segelas kopi hangat kesukaanku.
Aku sangat sadar. Bahkan aku sangat sadar. Sekali lagi kutegaskan aku masih waras. Jika racun pun yang kau berikan padamu untuk kuminum aku akan lakukan. Setidaknya biar kau benar-benar paham kalau aku mencintaimu lebih dari aku mencintai nyawaku sendiri.
Aku malah akan menjadi bingung jika dirimu memberikan segelas kopi hangat kesukaanku. Aku akan merasa tambah bersalah jika meminumnya. Aku tahu semua ketulusan cintamu sepenuhnya untukku. Hal itu aku ibaratkan dengan segelas kopi hangat yang dirimu suguhkan padaku. Tapi aku tidak sanggup jika karena hubungan cinta ini kau harus kecewa untuk beberapa kali. Dan kau sangat paham betul apa itu luka dengan alibi cinta.
Karena itu berikan racun itu padaku. Jangan membuat segelas kopi hangat untukku. Aku menjadi semakin tersiksa akan ketulusan cintamu padaku. Sementara aku benar-benar tidak bisa membalas sepenuhnya atas cintamu sekarang. Saat ini. Waktu ini. Segala kerendahan yang akan merekayasa hidupku adalah hal yang tabu untuk kau mengerti waktu sekarang.
‘Ini mas kopinya’
Oh gusti. Ternyata benar ia menyuguhkan kopi hangat kesukaanku. Aku semakin tidak tenang menghadapi cafein yang menghitam di hadapanku. Sepertinya airnya yang keruh dan hitam telah berubah menjadi racun yang pekat dan mematikanku dengan sekejap. Racun itu mengalir ke seluruh pembuluh darahku, menginfeksi dengan zat toksin kemudian sampai ke pusat pertahananku. Ya jantungku telah berhenti berdegup beberapa menit yang lalu.
‘Mas, kenapa kamu masih ragu untuk menuju jenjang lebih serius dari hubungan ini?’
Dan racun yang mengaliri seluruh pembuluh darahku telah berubah menjadi sulur-sulur tanaman yang semakin lama semakin banyak. Karena semakin banyak itulah sulur itu semakin erat mengikatku dan menyiksaku tanpa ampun hingga tiada lagi ruang bernapas di tubuhku. Mataku melotot merah karena sebagian aliran darah seperti berkumpul di kepalaku. Jadinya aku tambah tidak bisa memikirkan apapun juga melalui otak di kepalaku.
Sadar dengan bahaya itu aku meronta sekuatnya untuk melepaskan diri dari sulur-sulur jahat yang menyiksaku beberapa menit yang lalu. Aku menggigit, aku meninju, bahkan aku sampai menendang sulur-sulur itu agar tidak menyiksaku kali ini. Tapi dayaku memang tak sekuat sulur-sulur itu. Aku mulai melemah. Tapi pada satu kesempatan sulur itu juga tidak sekuat beberapa menit yang lalu mengikatku. Aku segera mengigit kembali sulur itu dan karena tak siap seranganku sulur itu terlepas spontan dari leherku. Kesempatan itu tak ku sia-siakan untuk berani menatapmu lagi dan dengan segenap kekuatan yang tersisa aku mulai bicara padamu.
‘Aku masih belum mempunyai pekerjaan tetap untuk melamarmu Anna.’
‘Jadi selama ini mas Ivan tidak mau hubungan lebih serius karena masalah ini.’
‘Ya.’ Jawabku pelan
‘Dan mas Ivan rela menggantung hidupku karena masih ingin mengejar materi? Kita hidup bukan mencari hal duniawi saja, tetapi juga kebahagiaan.’
‘Tapi aku takut tidak dapat membahagiakanmu karena belum mendapat pekerjaan yang tetap Anna.’
‘Dan aku cukup bahagia dengan dirimu sekarang.’
Lalu kami sama-sama terdiam. Beberapa saat hening memang mengasyikkan. Melarutkan diri dalam lamunan akan masa depan yang tak bisa ditebak begitu saja. Meremukkan cita-cita yang masih menggantung jauh di langit yang tak terlihat oleh logika.
‘Ma…mama. Andi mau bobok.
‘Ya sudah bobok di kamar sana, nanti mama nyusul. Mama masih ingin bicara sama om Ivan.’
‘Tapi Andi pengen bobok sama om Ivan biar om Ivan nginep di kamar Andi. Om mau khan? Andi pengen di dongengin lagi seperti kemarin sama om Ivan.’
Duh gusti. Anak itu sangat lugu. Anak dari suami pertama Anna. Aku tahu ia sangat membutuhkan figur seorang ayah. Tapi masihkah aku harus bingung menjawab pertanyaan Anna. Sedang anak itu tidak boleh menunda untuk mendapatkan kasih sayang seorang ayah yang pasti benar-benar ia rindukan. Anna meneteskan airmatanya. Tapi tak bersuara. Hanya menatapku dengan lembut.

Probolinggo, kota sejuta imajinasi.
2 mei 2008
Arya be a positive part one 4 semut

Cerpen : SESAL (-ku)

Sedari tadi aku mengamatimu. Persis di belakang pohon jambu yang menjutaikan angan. Sebab hanya kamu. Selalu seperti itu dalam kebisuan pagi. Saat semua orang lebih memalaskan tubuhnya untuk tetap di ranjang. Kamu tidak. Kamu penuh semangat menyambut pagi buta. Kamu berbeda. Seperti melihat kekuatan dari planet lain ketika memandangmu seperti pagi ini. Dan aku puas walau hanya melihat dari jarak yang agak jauh.
Tak berani apa-apa. Selanjutnya tanganku mulai melukis wajahmu. Entah sudah berapa kali aku melukismu. Telah banyak pena yang kuhabiskan. Telah banyak kertas stensil yang kuburamkan. Sebagai penghormatan pada dewi. Lalu menjadi lukisan seperti monalisa yang tersenyum abadi. Sedikit gendut tapi seksi.
Dan jika sesekali kau menoleh ke arahku cepat kusambar dengan senyuman yang membutakan. Seraya berpura-pura mengerjakan dan menyelesaikan lukisan yang tak lain adalah wajahmu. Benar. Kamulah. Dewi fajar. Pembawa kenikmatan surga pada pagi hari. Sebentar aku ke langit. Meregang nyawa disana karena kecantikan parasmu. Dan memanggilmu untuk ikut meregang juga. Karena pelepasan jasad adalah hal terindah yang pernah dilalui oleh manusia. Siklus yang harus dijalani. Tapi tak apa jika mengalami siklus itu denganmu.
“Areya lek, kopina.”
“Kok repot-repot saja sih yu’. Aku akan buat sendiri nanti.”
“Tak perapah lek. Mumphong bedhe.”
“Terima kasih Yu’.”
”Engghih, de-padhe lek.”
Lalu aku memberi angukan kecil dengan kepala memberi tanda hormat padamu. Dan menatap lekat dirimu pemilik mata kuat warisan elang pelaut. Kehangatan kopi juga tak akan sebanding dengan kehangatan matamu yang menatapku bersahabat. Kamu duduk di lenchak serambi depan rumah. Dudukmu kau atur senyaman mungkin. Tangan kananmu mulai membetulkan rambut yang panjang terjuntai dan sedikit masai oleh angin yang menderu kecil. Tapi tidak henti disitu. Pagi kali ini memang adalah anugerah. Menertawai matahari yang tak kentara panasnya dan mulai menelanjangi tubuhmu seolah berpacu deru denganku menggapaimu.
Sebentar kemudian kamu memandang jauh. Sangat jauh pandanganmu itu. Hanya saja aku tak berani bertanya tentang apa yang kau lihat. Dugaanku kamu hanya menatap kubangan kosong tentang dunia. Atau dengan kata lain kamu sedang melamunkan hidupmu. Sedang aku hanya menduga-duga apa yang kau lamunkan. Tak akan menjadi hal yang serumit dirimu dalam memandang pandanganmu yang jauh itu, jika aku mengetahuinya.
Lalu kau mulai menghela nafas panjang. Panjang sekali. Tampak ingin saja mengeluarkan yang merayapi hatimu beberapa hari ini. Beberapa potong fragmen kehidupanmu. Namun sangat menentukan. Sangat potensial. Sangat penting. Sangat berat. Sehingga kerut-kerut di dahimu mulai terlihat dan mencarut-marutkan pikiranmu. Dan kamu memandangku sebentar. Ya sangat sebentar. Tapi aku tahu arah pandanganmu kali ini. Tidak jauh seperti tadi. Hanya pandangan pendek yang menjejalkan segala pertanyaan. Yang ujung-ujungnya akan berakhir dengan pertanyaan “Seriuskah kamu lek?”.

Aku berkelojotan dengan waktu yang memakan habis nafasku. Tahun windu pertama. Sebuah wilayah pinggiran Probolinggo memangkasku habis dengan segala budaya yang memaksa masuk ke segala inderaku. Aku menelannya. Kadang juga muntah. Namun masih hidup sampai sepersekian lawatan budaya. Sepertinya manusia tak pernah terlahir dari keinginan untuk terus menapaki hidupnya masing-masing. Mewarnai pundi-pundi kejayaan yang diciptakannya sendiri. Tak perduli dimana. Tak perduli siapa. Yang ada hanya seberapa kuat keinginan itu.
Aku kuat. Tak bisa digugat. Bukan berarti tak membuatku ingat akan kehidupan yang sebelumnya lewat. Hanya saja semua menjadi pondasi yang lebih memperkuat sekarang aku berdiri. Hanya melawan. Hanya menata. Menjadi lebih baik. Setidaknya seperti itu menurutku. Bahkan menetap di kota ini juga adalah perjalanan acak yang kutempuh untuk menjadi yang kuat. Beringsut menjadikan kekuatan yang membalikkan keadaanku semakin menjadi terkendali. Hanya aku yang tahu. Bukan ibuku. Apalagi bapakku. Bukan aku membenci mereka. Tapi waktu memintaku untuk mencari arti keluarga di kehidupan Wonoasih yang tak pernah tercatat dalam sejarah mereka.
Seperti sebulan yang lalu. Ketika menjelaskan arti keluarga pada mereka, bapak dan ibuku menudingku telah tidak waras. Mereka tidak menyetujui keinginanku untuk menikah dengan Sawarni. Seorang janda beranak satu tempat aku menambatkan hati. Mereka bersikeras bahwa arti keluarga ada pada Anne yang peranakan blasteran Belanda-Jawa. Anne adalah figur istri yang ideal menurut mereka. Cantik. Pintar. Metropolis. Dan segala kelebihan lainnya nyaris tanpa kekurangan.
Justru aku sendiri yang menganggap bahwa Anne adalah muluk-muluk yang tak pernah diinginkan sedikitpun dari jiwaku. Aku capek dengan wanita seperti Anne. Harus memahaminya dengan tinjauan kesetaraan gender yang berlebihan. Harus berdebat tak berujung ketika membahas keluarga modern yang dianggapnya paling ideal. Harus menjadi kuli mewujudkan idenya saat ia mempekerjakanku sebagai suami. Semua telah terukur pasti. Untuk saat ini bahkan nanti. Semua telah diperhitungkan Anne jika menjadi istriku. Yang bagiku semakin jauh dengan arti keluarga itu sendiri. Karena keluarga tak harus dihitung dengan untung rugi seperti seorang tengkulak di pasar.
Bapak dan ibu yang kusayangi. Sawarni beda. Ia menjadi istri yang tak pernah membicarakan urusan gender. Karena menurutnya Tuhan mempunyai pandangan yang sama terhadap manusia. Hanya manusia yang membuat pengertian berbeda-beda terhadap masalah gender. Bapak dan ibu yang kurindukan. Sawarni beda. Ia hanya memberikan ketulusan seorang istri. Karena baginya ketulusan adalah mutlak sangat dibutuhkan dalam berkeluarga. Bapak dan ibu yang kucintai. Sawarni beda. Ia hidup dalam kesederhanaan masyarakat petani anggur bukan masyarakat teknologi kincir angin. Dan yang terpenting Sawarni adalah saya. Dan saya adalah Sawarni. Titik.
Bapak dan ibu yang kusayangi. Bukan untuk membandingkan. Tapi aku tidak pernah merasa senyaman ini dengan seorang perempuan selain Sawarni. Lantas apalagi yang harus aku tunggu untuk mendefinisikan arti keluarga. Semuanya telah jelas bagiku. Hanya tinggal kalian berdua sepakat atau tidak dengan keputusanku.
Dan kelihatannya kalian berdua tidak sepakat. Tentu saja berat bagi kalian untuk menerima Sawarni, janda bukan kembang desa Wonoasih. Tapi aku juga berat untuk menerima Anne, gadis kincir angin menjadi istriku. Maka aku harus bersikap tegas. Maafkan aku, ayah dan ibu yang sangat aku banggakan. Bukan aku tak ingin menjadi anak yang berbakti. Tetapi Sawarni adalah bentuk pengabdianku pada kalian berdua.
Percaya atau tidak aku akan tetap menjadi Sawarni. Dan Sawarni tetap menjadi saya. Dan Anne tetap perempuan yang tangguh di mataku. Sayang ia tak merasa nyaman denganku begitu juga aku. Ayah dan ibu yang sangat aku hormati. Pada purnama yang keempat tahun ini aku akan membawa Sawarni ke Jakarta. Menemui dan meminta restu pada kalian. Aku harap kalian dapat mengerti keinginan mulia kami berdua.

Pagi itu aku berkemas seadanya. Semalam aku membeli baju dari pasar yang kukenakan dengan celana kain hitam. Semalaman juga aku tak bisa tidur. Ada cecak jatuh tepat di kepalaku saat aku mengemasi pakaian ke dalam kopor. Sawarni memakai baju yang terbaik. Motif bunga matahari hampir menutup seluruh kain yang dikenakannya. Segalanya menjadi indah dalam pagi ini. Segalanya menjadi sangat berarti. Bagiku maupun bagi Sawarni. Hari ini aku berniat membawa Sawarni ke Jakarta menemui keluargaku.
Segala harap dan penantian akan menjadi selesai dalam tempo perjalanan Probolinggo Jakarta kali ini. Semua pertanyaan akan terjawab yang selama ini selalu menggantung dalam pikiranku. Aku banyak berharap keluargaku akan memahami dan merestui kehadiran Sawarni sebagai bagian dari keluarga. Tak perduli Sawarni janda. Aku telah merasakan kebahagiaan di samping janda Sawarni selama ini.
“Yu’ sudah siap?”
“Bule siap lek.”
“Tiketnya sudah kau bawa?”
Angukan kepala Sawarni telah melegakan pikiranku. Semua telah siap. Aku akan membawanya ke dunia yang selama ini ia hanya lihat dalam televisi empat belas inch. Pasti Sawarni merasa gugup kali ini. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa aku benar-benar serius membawanya ke Jakarta. Kota yang penuh dengan fasilitas dan memanjakan penduduknya dengan gemerlap kisah kesuksesan. Dan bagiku Jakarta tetap Jakarta yang aku kenal. Kota tua yang sedikit angkuh. Entah mengapa Jakarta selalu eksotis bagi para pendatang yang mengadu nasib kepadanya.
“Mau kemana dik Virman?” tanya pak Bebun sesaat setelah aku dan Sawarni keluar dari pintu rumah.
“Mau ke Jakarta pak.”
“Sawarni Juga?”
“Iya pak.”
“Sebelum berangkat kau terima telepon dulu di rumahku. Tadi ada keluargamu menelepon dari Jakarta.”
“Ada apa pak?”
“Saya juga tidak tahu dik, tapi kelihatannya penting.”
Aku segera beranjak menuju rumah pak Bebun. Sawarni hanya duduk pasrah menantikan kabar dariku. Otaknya kelihatan sedang berpikir. Atau setengah menduga. Aku tak tahu pasti. Yang pasti aku lihat Sawarni menatapku tajam. Masih dengan tatapan elang pelaut yang tajam. Memastikan apa-apa yang belum pasti. Aku tersenyum. Dan Sawarni sedikit lega dengan menghadirkan senyum pula.
“Lu yang tabah ye.”
“Ade ape sih cing ?” aku khawatir dengan suara dari seberang.
“Nyak dan babe lu kecelakaan tadi malem. Nyak dan babe lu habis dari pasar, katenye buat persiapan lu yang dateng dari Probolinggo.”
“Trus Nyak Babe gimane keadaannye?”
“Mereka udeh tenang di sono.”
“Maksud encing…Nyak Babe…”
“Lu tabah ye. Lu kudu ngarti kalo umur seseorang kagak ade yang tahu.”
Dan aku menjadi tak terkendali. Aku berhambur keluar dari rumah pak Bebun. Aku peluk Sawarni sekuatnya. Sawarni hanya terdiam tak mengerti. Tapi aku terus memeluknya erat.


At my room
Thank’s to Probolinggo
City of imagine

Cerpen : Si Opini Malam

Bualan-bualan ini sudah menggumpal tepat di ubun-ubun dan siap meledak kumuntahkan ke wajah yang tak bernama. Lalu kubalut saja muntahku menjadi tinta yang siap menulis ratusan kata. Pikiran dan pemikiran yang tertulis tidak terfokus pada suatu rumusan masalah. Absurd. Betapa tidak, doktrin-doktrin yang menghantamku –tentunya dari sumber bacaan- membuat limbung pemikiran yang tertata rapi dan tertanam sejak lahir.
Kurang lebih seperti itu kondisiku. Ke-limbung-an semacam ini kerap meliputi diriku. Aku telah terbiasa menikmati ranumnya tubuh ke-limbungan-an yang kubangun sendiri dari pondasi-pondasi idealisme. Terkadang tubuhnya yang sintal terasa indah bahkan secara sadar aku sangat menikmatinya. Menikmati keresahanku sendiri yang semakin melarut.
Sebagian menguap membumbung ke langit ideologi. Sebagian mengendap menjai lumpur perenungan kalbu. Otakku sejenak mikir. Apakah aku terlalu dini memberi pertanyaan pada dunia atas fenomenayang terjadi untuk waktu sekarang ini. Pertanyan itu menyudut dan memojokkan aku. Seakan otakku digaris-bawahi oleh ketidak-siapanku untuk menyambut jawaban yang dibuat dunia.
Jelas saja aku hanya memegang bayang-bayang. Tidak nyata. Semu. Segala idealisme, segala doktrin, segala candu mengental hitam dan mempengaruhi pola pikir. Pola pikir ini semakin diurut semakin memberi varian soal yang tak berujung batas. Varian inilah yang menjajah kedua otakku. Kiri maupun kanan. Depan maupun belakang. Jajahan ini mendulang emas di pikiranku. Aku sendiri makin limbung. Makin bodoh. Makin tersesat pikir.
-Emancipate your self from mental slavery-
Begitu sederhananya barisan huruf yang tercipta dari seorang Bob Marley. Tetapi sulit dicerna apalagi melaksanaknnya. Aku sendiri masih diperbudak oleh pola pikir budaya yang sudah ada sebelum aku lahir. Budaya itu melekat pada diriku walaupun aku tak menghendakinya sebagai warisan pola pikir yang harus diterima dengan segala hormat. Terkadang aku memahami budaya itu seperti jeruji besi penjara. Memasung kebebasanku. Tidak ada sisi terang yang kutanmgkap darinya. Atau kenapa aku harus lahir jika harus menjadi budak budaya. Bahkan sempat aku berpikir kenapa aku harus lahir jika harus menjadi budak Allah. Ini keterlaluan. Hal seperti itulah yang kadang-kadang -mendogma- menjadi pertentangan otak dan berakhir dengan pecahnya syaraf di ubun-ubun.

“Kenapa kau masih membaca buku-buku yang telah meracuni otakmu itu?”
“Ah Ibu. Ibu tidak pernah mengeti dan tidak pernah mau mengerti.”
“Ya, Ibu memang tidak pernah mengerti denganmu sekarang, yang Ibu tahu kamu Ibu kuliahkan untuk mencari pekerjaan yang layak. Bukan hanya melamun tanpa usaha. Putra Ibu telah berubah.”
“Semua yang hidup pasti berubah.”
“Ibu tidak ingin perubahan itu menenggelamkanmu dalam kenistaan pikir.”
“Tidak akan Ibu. Aku masih belum mendapatkan jawaban yang aku cari dan tak akan menyerah begitu saja.”
“Anakku, ketahuilah bahwa buku bualan itu tidak akan abadi dan tidak mungkin engkau menemukan jawaban di sana.”
“Untuk itulah aku terus mencari.”
“Buku itu adalah sebuah pembenaran yang bersifat sementara sebelum teori lain muncul untuk menyempurnakannya. Kamu tidak perlu mencari karena di kitab suci telah tertulis jelas atas pertanyaanmu.”
“Aku sulit memahaminya.”
“Kamu tidak akan pernah memahaminya sebab kamu tidak pernah mau memahaminya.” Lantas Ibu pergi meninggalkanku.
Monolog dengan hatiku kembali terjadi. Kali ini bertambah berat. Mungkin saja perkataan Ibu benar. Bisa juga meragukan. Sebab aku juga tak pernah mengkajinya. Kita hidup pada zaman dimana logika menjai tolak ukur dalam mencari pemecahan atas masalah.sedang buku usang (=Kitab Suci) itu telah berusia ribuan tahun yang lalu. Apakah masih mungkin meyesuaikan dengan zaman ini.
Sesungguhnya pertanyaanku cukup sederhana. Semuanya masih berkutat seputar kehidupan. Namun hingga saat ini tidak bisa di temukan jawabnya. Kenapa harus hitam. Kenapa harus putih. Kenapa baik. Kenapa buruk. Kenapa kaya. Kenapa miskin. Kenapa bahagia. Kenapa menderita. Kenapa ?????. lantas pertanyaan itu apakah ada jawabnya. Inilah letak misterinya. Ratusan buku filsafat sudah mampir di otakku. Tapi belum ada yang jelas menjawabnya secara gamblang. Mau tidak mau aku merasa dituntut untuk mencarinya. Kepuasan yang tertunda ini menuju ke titik kulminasi –muksa- dari segala aspek diri manusia. Tentunya buah pencarian ini merubah pola pikir menjadi tenang.
Semua semakin pecah. Kembali lagi pada pemikiran-pemikiran yang membuatku lebih tidak ngerti apapujn. Menghitam saja. Nikmati dan teguk pertanyaan yang tak pernah terjawab. Makin limbung lagi. Makin pudar cahaya atas jawaban. Apakah hanya dongeng ketika membaca Al-Qur’an kau akan mendapatkan ketenteraman jiwa persis kata ustadzku dulu.
Si Ali yang setiap hari sering membacanya di Mushola bareng anak didiknya juga masih melakukan tindakan yang kurang baik di mata agama dengan mengaku-ngaku nabi. Bahkan si Yusuf yang sering memberi dakwah di kampungku ternyata juga sering ke tempat pelacuran dengan sembunyi-sembunyi. Atau kota yang berjuluk Serambi Mekah pun tak luput dari amuk Allah. Hampir sebagian penduduknya mati mengenaskan di terjang ombak Tsunami. Jadinya makin parah bukan. Apakah dengan membacanya aku bisa menemukan jawaban atas pertanyaanku selama ini.
Kehampaan jiwa ini seperti pasir di tengah gurun sahara. Atau seperti setetes air di dalam lautan. Semua hal sama di atas kesamaan materi yang lainnya. Seperti dan seperti lalu seperti menjadi seperti. Logika invalid yang baru kutemui. Bingung. Kontradiksi. Hal ini menyebabkan jiwa-jiwa liar ku semakin menjadi-jadi untuk tak mengakui adanya Dia. Betul. Dan aku akan mentransfer ke otak manusia dengan pemikiran yang sama seperti pemikiran invalid yang kurasakan. Rasakan juga kegelisahanku malam ini kawan.

“Tidak. Itu tidak benar. Itu kesimpulan yang sangat awal dan belum bisa dijadikan tolak ukur pembenaran.”
“Kenapa juga mesti salah?”
Tidak berubah sama sekali.
Nada bicaranya juga masih sama. Jujur namun ada unsur tegas di sana. Kejujuran itu yang membuatku lelah dan depresi. Masih terbayang jelas awal pertemuanku dengan mahluk yang satu ini. Sebenarnya ia hanya seorang gadis muda seperti yang lainnya. Akan tetapi setiap kata yang keluar dari mulut mungilnya begitu lembut dan menyudutkan lawan bicara tanpa harus membuat tersinggung. Bidadari tanpa sayap. Ah. Terlalu memuji kurasa. Ia hanya gadis. Ya hanya gadis bau kencur.
Aku masih ingat betul. Ibu menyuruhku menjemputnya di stasiun siang hari itu. Aku harus menahan air mukaku karena kelakuannya. Sudah menunggu berlama-lama di stasiun untuk menjemputnya. Tapi apa lacur. Aku harus pulang sendiri juga. Dia mengirim kabar tidak jadi ke Probolinggo dengan alasan yang terkesan dibuat-buat menurutku. Ada urusan mendadak begitu ujarnya. Apa dia anak presiden yang mempunyai seabrek kegiatan di bumi pertiwi ini sehingga aku harus memaklumi jadwal kegiatannya. Tapi alasan itu terlambat. Aku sudah menunggunya di stasiun lebih dari dua jam. Dan itu menjengkelkan.
Kesal. Dua jam lebih itu aku habiskan dengan melihat rel kereta api yang tetap saja membujur kaku. Hujan pun semakin menambah lengkap penderitaanku kala itu. Dan, gadis pemilik wajah renyah itu ada di hadapanku sekarang. Berbincang pada gugusan bintang malam ini. Suara lirih angin membuatku sadar bahwa mahluk ini benar-benar membuat keindahan malam ini mulai terusik. Sedari sore tadi ia membuatku kesal. Ibuku dibiusnya dengan manis mulutnya berkhotbah. Ia adalah seorang anak kenalan ibuku. Aku semakin curiga bahwa ia suruhan ibuku untuk memberi khotbah padaku juga. Jika itu benar terjadi kau salah orang malam ini.
Gadis bau kencur. Lawanmu adalah mahasiswa filsafat teologi tingkat akhir. Tak mungkin aku dikalahkan adu argumen dengan gadis yang baru semester dua. Katanya juga kau ketua Lembaga Dakwah Kampus. Tapi maaf aku tidak takut sama sekali. Sudah lama aku ingin mempunyai kesempatan untuk bicara langsung ke kamu. Bidadari tanpa sayap. Atau lebih tepatnya bidadari berbibir dower karena kebanyakan khotbah palsu.
“Kamu hanya menyimpulkan dari datamu sendiri. Si Ali, si Yusuf, maupun Aceh. Kamu tidak pernah melihat dari data yang lain.” Jawabmu datar sesudah aku membuka wacana pemikiran baru tentang eksistensi Allah.
“Tapi kamu harus mengakui bahwa mereka juga tidak pernah memahami Al-Qur’an yang rajin mereka baca.”
“Mereka belum benar-benar memahaminya. Mereka hanya membaca sebagai ritual yang menjadi suatu kewajiban saja bagi mereka.”
“Maksudmu?”
“Ada banyak peristiwa yang mungkin kamu contohkan dan meracuni otakmu. Contoh demikian jika diselami memang akan merangsang otak kita untuk berpikir. Berpikir tanpa landasan adalah pembodohan tak kentara.”
“Maksudmu aku bodoh karena berpikir tanpa landasan? Aku banyak membaca buku tentang filsafat eksistensi Allah di alam jagad raya. Terus kenapa Allah bersusah payah jika tahu nanti Ia akan merusaknya jika ada manusia yang tidak patuh kepadanya. Memberi kebebasan pada kita di muka bumi tapi juga dijadikannya kita sebagai budak-Nya. Lalu apa salah aku mencontohkan seperti itu?”
“Hal itulah yang membuatmu terjebak berpikiran yang semakin membuat buruk citra kemurnian Al-Qur-an itu sendiri dan keagungan Allah. Kesalahan itu bukan karena Al-qur’an tidak bisa memberi tuntunan pada contohmu tadi atau bukan berarti Allah marah dan memberikan bencana tersebut.”
“Lalu”
“Bukanlah dogma pada Al-Qur’an yang salah atau Allah ingin disembah oleh mahluk ciptaannya. Akan tetapi, seringkali manusia mulai mengusik wacana agama jika ada tindakan yang menyimpang dari konvensional dari budaya mereka. Dan yang lebih parah ketika pupusnya keyakinan hanya dikarenakan adanya data sepotong yang dicerna sendiri.”
“Jadi letak kebenarannya dimana?”
“Tidak ada yang dapat menentukan benar dan salah. Hal itu adalah tolak ukur Allah pencipta semesta beserta isinya.”
“Kenapa juga mereka melakukan hal-hal bodoh ketika ia tahu dan rajin membaca Al-Quran. Atau mengakui bahwa mereka hamba-Nya yang harus patuh dan taat pada Allah.”
“Hal itulah yang membedakan keimanan seseorang terhadap Allahnya. Mereka hanya bisa membaca Al-Qur’an namun jarang mengkaji arti kandungan dalam setiap ayatnya. Atau jangan-jangan kamu juga termasuk orang-orang yang seperti itu?”

Blllllaaaaaaammmmmmm
Mulutku jadi terkunci rapat sekali. Hanya mataku yang segera mengamati tubuh di depanku ini. Telingaku hanya ingin mendengar setiap detail ucapannnya lagi. Kalimat terakhir itu benar mengena tepat di otakku.
Cakrawala terbuka lebar dari jendela ke-absurd-an argumen. Otakku disiram air jernih bertabur mutiara kata. Kenapa aku begitu bodoh dihadapnya. Jelas aku tidak pernah memahami al-Qur’an. Membacanya pun aku patut dipertanyakan. Malah mebaca buku tentang pemikiran orang Atheis yang tidak mengakui keagungan Allah. Konyol sekali aku menarik kesimpulan. Aku membatu. Diam. Bisu. Bagai malam ini yang dipenjara gelap.
Ibu. Mahluk apa yang kau kirikan padaku malam ini?


Probolinggo 17 Juli 2008
Rahasia kekasih imaji yang sadarkan aku

Cerpen : Curhat

Pulang, adalah sebuah kata yang sedemikian memaksaku benar-benar meninggalkan segala aktivitas di bangku perkuliahan yang benar-benar habis masa studinya tahun ini. Kata pulang juga bermakna bahwa aku tidak menjadi seorang mahasiswa lagi dan menjadi pengangguran. Ada sedikit rasa takut, juga gelisah dalam kepulanganku kali ini ke kota kelahiranku yang selalu membuatku rindu untuk menyapanya, ya Probolinggo. Takut akan lama mendapat pekerjaan, gelisah karena telah banyak perubahan yang tidak aku ketahui selama aku tinggal kuliah di luar kota .

Takut akan lama mendapatkan pekerjaan. Hal itu menjadi suatu momok bagi seorang sarjana muda yang baru lulus sepertiku. Sepertinya segala usaha untuk meluluskan diri dari bangku perkuliahan menjadi sia-sia pada fase ini. Bagaimana tidak, anggapan pengagguran yang melekat padaku kini sangat menyakitkan bagiku, bahkan juga keluargaku. Diriku akan menjadi pembicaraan hangat di komunitas ibu-ibu pencinta gosip di kompleks perumahanku. Jika lebih lama lagi aku mengganggur maka semakin banyak yang ikut komunitas gosip kompleks perumahan membicarakan diriku. Dan hal itu diperparah dengan asumsi mereka bahwa buat apa sekolah tinggi-tinggi jika harus menganggur nantinya.

Bagi diriku asumsi seperti itu menjadi suatu pukulan telak tanpa bisa kubalas. Aku telah di Knock-Out (KO) oleh ibu-ibu di kompleks perumahanku. Dengan sendirinya karena aku maka akan banyak anak-anak di kompleks perumahanku yang tidak akan pernah menikmati bangku perkuliahan nanti. Mereka tidak mau sepertiku seorang sarjana yang tidak mendapatkan pekerjaan.

Aku juga gelisah dengan perubahan yang terjadi di kota ini. Kota yang selalu membuatku rindu akan keharuman mangga arum manisnya. Ada beberapa pabrik baru telah didirikan di kota ini. Dengan begitu investor telah mempercayai kota ini untuk mengembangkan bisnisnya. Aku cukup bangga dengan perubahan itu. Namun juga tetap gelisah melihat perubahan ini. Jangan-jangan teman-teman semasa kecilku, dan teman-teman sekolahku juga berubah seperti kota ini. Dinamika kehidupan memang membuat perubahan-perubahan untuk menatanya menjadi lebih baik di masa yang akan datang.

Kegelisahanku semakin menjadi saat kutemui beberapa dari teman-temanku yang muda usia, energik, dan mempunyai latar belakang pendidikan yang tak kalah bagusnya dariku juga tidak mempunyai pekerjaan tetap. Mereka bersama-sama sepertinya mengeluh karena ketidak-pastian lapangan pekerjaan yang diinginkan. Bahkan yang lebih membuatku bersedih adalah banyak dari teman-temanku yang menjadi korban penipuan pengusaha yang nakal. Mereka memberlakukan sistem kerja kontrak. Selesai target selesai juga masa kerja yang sementara. Dan pada akhirnya menganggur lagi.

Semuanya menjadi suatu kesuraman. Padahal berapa kali mereka harus bersabar untuk mendapatkan kesempatan bekerja lagi. Salah siapakah ini. Atau memang betul seperti yang dikatakan oleh ibu-ibu kompleks perumahanku. Tak perlu sekolah tinggi-tinggi jika ujung-ujungnya hanya menjadi pengangguran. Biaya pendidikan mahal maka kubur sedalam-dalamnya menjadi anak kuliahan. Maka tidak terlalu rugi mengeluarkan biaya sekolah, cukup SMP atau SMA sudah bagus.

Namun adakah kita rugi menimba ilmu? Padahal ilmu adalah hak segala manusia untuk mempelajarinya. Hak dasar hidup yang paling hakiki karena hak tersebut diatur oleh pemerintah dalam undang-undang. Tapi apa lacur semua hanya omong kosong. Aku hanya menjadi sampah di mata ibu-ibu kompleks perumahanku. Hanya karena aku tak mendapatkan pekerjaan. Dan tak terasa sudah setahun aku mengganggur selepas wisuda.

Aku melihat gurat kekecewaan yang mendalam pada kedua wajah orang tuaku. Kecewa karena anaknya yang tak kunjung mendapat pekerjaan. Kecewa karena tidak berhasil penuh mengantarkan cita-cita dan harapan di banyak keluarga lainnya. Kecewa kenapa mereka dulu tidak mengikuti saran dari keluarga Buntari yang sekarang anaknya sukses mendapatkan pekerjaan menjadi seorang polisi yang gagah.

Ya. Aku ingat betul pak Buntari bersama keluarganya. Anak sulung pak Buntari adalah temanku waktu SD dulu. Si sulung itu bernama Rasyidin. Sebenarnya umurnya lebih tua dariku karena tidak naik di kelas empat dan lima maka ia sekelas denganku di kelas enam. Aku tahu betul Rasyidin memang tak sepandai aku untuk menangkap pelajaran dan memahaminya. Hingga ebtanas pun ia banyak mencontek dari hasil pekerjaanku. Aku tak berani untuk menolak untuk memberikan jawaban. Aku takut tangannya yang besar mendarat telak di pipiku.

Rasyidin dikenal sebagai jagoan di SD ku. Tidak ada yang berani menentang kemauannya. Atau harus berakhir dengan babak belur juga jika tetap ngotot menolak kemauannya. Selepas SD aku tak bersama dia lagi. Aku bersekolah di SMPN 1, termasuk salah satu SMP yang unggul di kotaku. Sedang Rasyidin bersekolah di SMP Setia Bayuangga, sebuah sekolah swasta. Begitupun juga ketika menginjak sekolah SMA aku diterima di SMAN 1, Rasyidin meneruskan sekolah di STM swasta.

Selepas STM itulah Rasyidin mendaftar menjadi seorang polisi. Tak tanggung-tanggung pak Buntari juga mendukung sepenuhnya keinginan anaknya. Demi menjaga gengsi sebagai orang yang cukup terpandang dan terkaya pak Buntari mendukung secara batin dan secara finansial. Pak Buntari juga tidak sedikit menganggarkan finansial Rasyidin agar diterima di satuan berbaju coklat tersebut. Dan harapan juga keinginan Pak Buntari dengan Rasyidin terjawab sudah dengan diterimanya Rasyidin sebagai anggota polisi Republik Indonesia . Bangga tentunya mereka berdua. Tak seperti orang tuaku yang harus gigit jari melihat aku. Padahal mereka juga menganggarkan finansial yang tidak sedikit selama membiayai kuliahku.

Ada sedikit penyesalan dalam hatiku jika melihat kondisiku saat ini. Rasyidin yang kurang pandai bahkan pernah tidak naik kelas diterima menjadi seorang polisi. Sedangkan aku. Sebagai seorang bintang kelas mulai dari SD,SMP, dan SMA, bahkan di bangku perkuliahan aku hanya bisa menahan keinginanku untuk bekerja di perusahaan sesuai bidang ilmu civitas akademika. Tapi sampai sekarang aku hanya menjadi seorang pengagguran. Dan itu menyakitkan.

***

Pergi dan berlalu. Memanjakan kaki. Memberi yang belum pasti diberikan. Agar mencukupi. Makna yang belum selesai dijamah oleh kemanisan pengertian. Walau akhirnya hanya seperti itu. Yang penting kita telah bersusah dalam prosesnya. Hasilnya akan menyenangkan dengan keringat yang tak berhenti mengalir.

Seperti pagi ini. Aku melihat senyuman yang tak mati dilabrak mentari. Terus saja mengembangkan senyumannya. Tak henti. Tak juga memikirkan giginya akan kering dibuatnya. Aku menjadi tak mengerti penuh. Hanya karena itulah ia digaji. Dengan bermodal senyum. Dan tangannya yang penuh dengan brosur cara meng-kredit mobil. Aneh.

Beberapa kali tangannya menyodorkan brosur kepada orang yang berlalu lalang di depannya. Tak sungkan beberapa laki-laki yang terihat parlente berusahanya dirayu dengan melempar senyum pula. Yang dirayu hanya cengengesan karena merasa masih jauh dari standard untuk membeli yang ada di brosur tersebut. Ia berpakaian parlente karena ada wawancara kerja di pertokoan ini juga.

‘Ini murah lo mas, bunga kreditnya turun hingga dapat dijangkau masyarakat luas.’ Bujuk si Gadis.

‘Itu memang betul Mbak, tapi saya lagi gak berminat. Lain kali saja ya.’ Ujar pemuda yang bergaya parlente tersebut.

‘Dipake pribadi juga tidak terkesan norak modelnya. Ayo ke meja saya, nanti saya jelaskan cara dan bagaimana angsurannya.’ Tetap si gadis merajuk pemuda tersebut.

‘Maaf mbak, lain kali saja. Saya terburu-terburu.’ Kata pemuda itu sambil meninggalkan gadis itu sendiri.

Ada sedikit kecewa pada garis-garis wajah si gadis tersebut. Maka ia terduduk lesu. Di kepalanya banyak carut-marut pikiran yang belum terselesaikan atau ketemu solusinya. Ada target penjualan yang harus dipenuhi olehnya pada bulan ini jika ia masih ingin menerima gajinya keluar beserta bonus-bonusnya. Ada biaya rumah sakit yang harus ia bayar karena ibunya sakit kencing manis dan harus diopname di rumah sakit.

Sebentar kemudian ada seorang yang berperawakan sedikit tambun, pendek dan sedikit botak sedang serius melihat salah satu mobil di stan si gadis tersebut. Si gadis tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Si gadis itu tersenyum seperti mendapatkan ide untuk menggaet calon pembeli yang berperawakan sedikit tambun, pendek dan sedikit botak itu. Ia merapikan rambutnya yang lurus menghujam bumi. Kancing teratas dari bajunya ia buka sehingga terlihat belahan dadanya yang ranum dan putih. Segera ia melangkah pasti kepada calon pembeli tersebut. Ia tersenyum penuh arti, matanya nakal menelanjangi belahan dada si gadis tersebut. Perangkap si gadis telah benar-benar menjerat calon pembeli tersebut. Satu target sudah dipenuhi pikir si gadis.

Di satu sudut pertokoan mataku menatap tajam kepada si gadis dan calon pembeli tersebut. Entah kenapa pelan merambat rasa panas hawa cemburu menjalar di hatiku. Siapa yang tak panas jika melihat adegan itu. Apalagi si gadis tersebut adalah pacarku. Ingin aku menghajar calon pembeli tersebut dengan tinjuku. Tapi apakah aku sanggup membiayai ibu pacarku yang sekarang tergolek lemah di rumah sakit jika kuganggu calon pembeli itu untuk membeli. Selain pacarku akan kehilangan konsumennya, ia juga tidak akan memenuhi target penjualannya sehingga ia tidak bisa membayar biaya rimah sakit ibunya. Akhirnya aku hanya pasrah sebagian tubuh indah pacarku ditelanjangi oleh calon pembeli tersebut.

***

Andai ku tak menganggur. Seberat inikah aku menjalani hidup sebagai pengagguran. Mengecewakan orang tua, menjadi pembicaraann ibu-ibu di kompleks perumahanku, sebagai penonton pekerjaan pacarku yang semi menjual diri. Ahhhhh … kenapa begitu sulit mencari pekerjaan di negeri ini. Padahal secara akademis aku di atas rata-rata. Aku juga lulus tercepat dan mempunyai indeks prestasi lumayan tinggi.

‘Anakku, tadi ibu menerima surat dari Pos. Buat kamu sepertinya. Ibu ndak ngerti soale pake bahasa Inggris. Ini suratnya.’ Tepukan ibu di pundakku membuyarkan lamunan klangenanku pada masa kecilku.

‘Terima kasih bu.’

‘Apa isinya?’

Aku merobek amplop surat itu dan segera membacanya. Di sudut kertas surat itu ada stempel bertuliskan Leiden Wood Factory.

‘Ibu, Risvan diterima kerja di Belanda dan mendapat beasiswa meneruskan sekolah S2 di sana . ‘ teriakku

‘Alhamdulillah, Ibu khan pernah bilang, yang sabar. Tuhan nggak akan tidur melihat umatnya menderita.’

Aku semakin berbinar. Pikiranku hanya tertuju kepada Eluis pacarku. Aku berhasil sayang menaklukkan dunia. Aku bisa keluar dari pengagguran ini walau harus merantau ke negara yang jauh.



Probolinggo, 3 Juni 2008

Buat bangsa bangsat

Arya be a positive #2

Cerpen : Berita Tak Pernah Libur

Sudah biarkan saja seperti itu. Kerena aku juga sudah kenyang dengan omelan tentang layout berita seperti itu. Apalagi sekarang banyak orang pergi ke gereja merayakan hari yang dianggap mereka suci kehadirannya tahun ini. Semua semestinya berjalan sesuai dengan jadwalnya. Jangan pernah keluar dari yang telah ditetapkan. Bahkan aku yang tak pernah merasakan libur, jarang datang ke gereja walaupun hanya sekedar berdoa. Paskah, Natal atau apalah. Yang biasanya oleh pemerintah diberi tanda merah. Aku tetap saja berkutat pada mesin ini. Tak pernah lelah. Juga tak pernah goyah. Karena ini urusan perut keluargaku di rumah.
Ruangan ini semakin menyiksaku dengan dingin AC yang bertengger angkuh tiga meter di atas kepala. Mengangguk-angguk seperti meniup terompet tahun baru yang akan tiba di penghujung tahun. Sayang ia tak bersuara seperti speaker mini di bawah kakiku. Ia sibuk saja berkoar-koar mengeluarkan suara atas apa yang aku perintah untuk memperdengarkan lagu dangdut melalui software yang ada di dalam komputer. Ya. Lagu yang sering orang bilang kampungan. Biarlah. Walaupun begitu aku menikmatinya seluruh. Menelannya dengan gendang telingaku. Tak ubahnya seorang tua yang terkesima mendengar alunan musik klasik dengan piringan hitam besar.
Lalu sepi benar-benar manyiksaku kali ini. Hanya itu yang aku rasakan di ruangan bertemperatur dua puluh empat derajat celcius ini. Kulitku mengering sudah. Lupa tadi aku membawa lotion pelembab kulit. Sebab waktu tak pernah kompromi dengan editor koran murahan sepertiku. Semua sudah ter-dateline rapi. Jam sekian harus sudah masuk meja redaktur. Atau alasan lain yang tak kalah pentingnya. Dan yang paling menyiksa adalah semua itu membuatku seakan-akan berlari dikejar seekor anjing Bulldog hitam besar. Dan aku terus saja berlari-lari untuk menyelamatkan bokongku dari gigitannya.
Dan tuntutan selalu mengiringi diriku bila terjadi kesalahan kecil saja. Namun ini tidak pernah main-main dengan semua kata yang berbaris membentuk makna itu. Kata-kata itu akan dibaca seluruh antero daerah. Salah sedikit membuat aku kesulitan. Kesalahan edit yang paling fatal adalah dilarang terbit lagi dan di-bredel dari peredaran. Sedang aku butuh makan. Sedang anakku butuh susu. Sedang istriku butuh baju. Sedang aku sendiri butuh ,….aku lupa aku butuh apa. Jika akan kudaftar seperti menu di restoran tentunya akan banyak juga. Berlembar-lembar pastinya. Karena aku tahu manusia tidak pernah ada puasnya atas keinginan. Maka itu togog pun memakan gunung.
Aku benar-benar sangat ingin menikmati hidup normal selayaknya orang lain. Berseragam. Masuk kantor jam delapan pagi. Tidak sepertiku yang berangkat ketika orang akan bercengkerama dengan keluarganya di sore hari. Kemudian aku membayangkan duduk di meja yang bernama atas diriku. Lengkap dengan embel-embel titel di depan dan belakang namaku. Ada pena dengan tinta berwarna emas nancap nyaman di saku kiri seragam. Lalu aku juga akan menghadap komputer. Seperti yang aku kerjakan sekarang. Jika tidak ada kerjaan aku akan mulai membuka koleksi permainan. Agar tak jenuh bekerja. Atau koleksi film bokep. Dan melihat sengaja dengan rasa was-was di hati. Takut atasan sidak ke kantor. Dan menemukan aku lagi tidak pada prosedur kerja orang-orang yang berseragam.
Sayangnya aku tidak pernah menjadikan profesi idaman itu menjadi kehidupanku sehari-hari. Atau aku yang tidak menginginkan keteraturan berseragam itu. Bagiku tidak pernah ada tantangan hidup bagi mereka. Mengerjakan hal yang berpola sama. Tak pernah beda dalam setahun. Atau jika ingin lari dari rutinitas membosankan mereka akan mengajukan proposal. Ya. Semacam proposal begitulah. Proposal untuk melancong ke luar negeri. Atau lebih dikenal dengan studi banding. Dan keluarga besar di rumah juga wajib ikut dengan gratis.
Dulu semasa menjadi mahasiswa aku juga tidak pernah hidup serba berkecukupan. Harus prihatin tiap harinya. Harus rela makan mie instant dua kali dan satu kali makan nasi di warung pinggir jalan. Biar cukup uang saku sebulan dari bapak di desa.
…..
Masih menari. Dan bergoyang juga. Semacam rumput laut yang ada di akuarium. Tepat di meja tamu dekat meja receptionis. Dan lampunya yang ungu membawa kesejukan tersendiri bagi segala tumbuhan laut yang bertengger di punggung karang yang di tata sedemikian rupa membentuk kenyamanan estetetis mata yang memandangnya. Jelas seperti caffein yang mengendurkan urat syaraf ketika raga berkata lelah pada otak. Ya. Ada juga ikan yang menjadi lambang sebuah perusahaan nasional atau juga semi nasional. Aku tidak tahu persisnya. Aku malas mengikuti beritanya. Ya sebuah kuda laut. Memagut-magut mesra pada karang yang menyala tertampias ungu lampu.
Lalu ingin saja menjadi muda lagi. Menjadi manusia yang tidak terbatas pada urusan perut. Menjadi manusia yang bebas. Menjadi manusia tak terikat waktu. Pergi sesukanya. Tak juga pernah pulang malam. Sekalian pagi. Langsung nyemplung sumur untuk mandi. Menggosok gigi. Dan menyisir rambut setelahnya. Dengan mata merah sehabis mabuk minuman murahan tadi malam masuk juga ke kelas. Dan dosen yang sama. Dosen yang tua. Dosen yang lurus mengajarkan teori. Dosen yang memutih rambutnya dan berusaha tampil muda dengan menyemir hitam rambutnya. Dengan semir murahan pula. Dosen yang berkompromi atas pilihan mahasiswa. Karena jika tidak akan didemo ratusan anak didiknya yang garang.
Dan aku. Aku yang masih saja hitam kulitnya. Aku yang masih saja berkacamata minus tebal. Aku yang masih saja berbibir besar hitam. Aku yang masih saja membuang puntung rokok sekenanya. Aku yang masih saja hapal dengan perkalian angka sampai seratus. Aku yang masih saja hobi memotret gadis yang melewati kampusku untuk menuju ke kampusnya di seberang. Dan itulah yang membuatku betah bersemedi di atas genteng panggung pertunjukkan yang sudah berlumut dimakan usia. Hanya untuk mendapatkan view yang pas untuk mengambil gambar tanpa diketahui empunya.
Buku yang kupegang selalu juga menjadi syarat untukku masuk mengikuti mata kuliah dengan harapan dosen cepat mengakhirinya. Karena mata ini selalu meronta-ronta minta untuk dipejamkan tiap kali dosen membuka lembar-lembar teorinya. Karena itu juga yang membuatku selalu menjadi orang yang tak pernah duduk di bangku depan kelas kecuali jika ujian yang mewajibkan aku harus duduk di bangku yang paling depan.
Semua menjadi suatu keasyikan tersendiri. Dan menggunung makna ketika harus hadir menjadi lamunan masa lalu. Dan saat ini aku telah beranak satu. Saat aku telah mengenal bagaimana kerasnya hidup. Saat aku telah menjadi bapak bagi anak semata wayangku. Saat aku tertawa tapi tak ada yang ikut tertawa di sampingku. Saat merasakan sepi di kerumunan orang merayakan natal tahun ini. Atau saat seperti tak pernah punya rasa untuk merasai sebuah kehidupan di luar. Ya. Diluar itu. Yang sekarang sudah ada pedagang terompet tahun baru. Atau pedagang makanan yang berebut lahan untuk menyambut tahun baru nanti.
Selantun nada dering monophonic dari handphone butut menampar gendang telingaku lembut menggetarkan seluruh aroma sepi di ruang bertemperatur dua puluh empat derajat ini. Dari Tantri. Istriku. Oh kiranya hanya SMS. Ada apa selarut ini ia SMS aku. Curigakah kepadaku? Tidak juga karena aku orang yang tak begitu suka keluar malam jika tak ada alasan yang tepat. Atau sekedar minum se-sloki arak di pinggiran jalan. Tidak. Aku sudah berhenti melakukan itu. Sejak predikatku menjadi seorang sarjana. Sejak predikatku menjadi seorang suami. Sejak predikatku menjadi seorang bapak bagi anakku. Tapi kenapa Tantri mengirimkan SMS kepadaku malam-malam begini.
“Arya sakit mas. Panasnya sudah terlalu tinggi. Apa perlu di bawa ke rumah sakit?”
Aku terkejut membacanya. Tadi siang Arya masih tertawa dengan teman seusianya. Aku spontan langsung membalas SMS Tantri dengan meneleponnya melalui fasilitas telepon kantor. Untuk memastikan. Untuk membuat hatiku tenang. Untuk secara langsung terlibat komunikasi yang tidak bisa diwakilkan dengan kata-kata yang ada di SMS. Untuk mendengar ekspresi Tantri di rumah tentang keadaan Arya anakku.
Hallo
Hallo
Dik, mulai kapan sakitnya?
Mulai dari tadi tak lama setelah mas mau berangkat ke kantor.
Sudah kau beri obat?
Belum mas. Sementara ini aku hanya mengompresnya.
Kenapa tidak di belikan obat.
Uangnya aku berikan pada pak Budi katanya malam ini ada arisan dan pengajian warga.
Kau bisa pinjam dulu ke mak Inah. Nanti sekembalinya aku dari kantor, aku bayar.
Sebentar mas. Arya kejang-kejang….
Maksudmu ?
Dan ia menutup pembicaraan sepihak. Menghempaskannya begitu saja. Persis seperti menghempaskan aku dalam tanda tanya yang besar atas keadaan Aryaku. Komputer masih nyala. Tanda kerjaanku untuk meng-edit berita esok masih belum selesai. Masih separuh jalan. Masih ada lima berita yang harus ku-edit malam ini. Sementara bayangan Tantri semakin menggurita di kepalaku. Seorang wanita yang sendiri di rumah ditinggalkan suaminya kerja di malam hari. Dan seorang anak yang sedang sakit. Entahlah. Kepalaku sudah tak bisa membayangkan jika keadaan ini menjadi semakin parah. Sebab terlintas rumah sakit adalah pilihan yang terbaik bagi anakku sekarang. Cepat kuambil jaket dan kunci sepedaku. Dan meninggalkan komputer nyala sendiri di kantor yang selalu sepi saat malam tiba. Kantor yang tidak mengenal hari libur. Karena aku tahu berita tak pernah libur.




Saat Jember diguyur hujan
At my room
So silence. Thank’s Tantri

Cerpen : ARYA

Aku membaca pikiranmu. Tak pernah berharap kau membaca pikiranku juga. Cukup hanya aku yang tersayat perihnya mimpi dan tak ingin membagikan kepadamu. Karena semua ini pasti sulit untuk dijalani bersama. Seberapa kuatnya cinta kita bertengger dalam pusaran waktu, tetap saja kalah dengan rasa kebosanan yang tiba-tiba merayap dalam hitungan tahun. Kau dan aku tak benar-benar sama. Tak benar-benar kuat. Sedangkan kita berdua terikat. Tak pernah menginginkan ikatan itu benar-benar terlepas. Sementara kegelimangan dunia terus menarik-narik untuk membuka simpul ikatan kita yang semestinya tak rapuh dengan waktu.
Sebenarnya kita bisa saja menyerah dan melepas ikatan tersebut. Tetapi kuasa hati mencegahnya. Menolaknya. Demi melihat permata yang kita buat dengan sayang pada matahati. Permata yang merengek jika malam kehabisan sumbu gelapnya. Aku dan kamu saling tergopoh memberi terang cahaya agar ia berhenti merengek. Walau aku hanya mengusap rambutnya. Cukup menenangkan hatimu dan ia.
Segera pamit dan undur diri dari pikiran yang menghinaku habis-habisan pada malam terakhir menjadi seorang bijak. Dan esok kembali pada kejadian yang selalu berulang. Merapikan meja kantor kepala sekolahku. Membersihkan halaman sekolah. Membuka pagar gerbang. Lalu santai sejenak dengan menghisap rokok dan segelas teh hangat. Aku juga membuat kopi dan teh buat para guru yang lain. Sedangkan kamu mencuci pakaianku, memasak, membersihkan rumah, dan memelihara permata kita. Dan permata kita, selalu juga sama. Merengek jika kehausan, merengek jika ngompol, merengek jika lapar.
Aku akui beban kita sama-sama berat untuk memberi yang terbaik untuk permata kita. Namun itu semua kita melakukannya dengan ikhlas. Tak pernah terbayang sedikitpun melihat permata kita jatuh dan menangis tersedu-sedu tanpa ada kita disampingnya. Namun kita masih lemah merawatnya. Sering terlambat memenuhi kebutuhannya. Padahal kita sudah bersusah sungguh memenuhinya. Agar ia tak merengek. Agar ia tak menangis. Agar ia tak kurang gizi.
Sayang tak pernah permata kita mengetahui dan menyadari. Ia tetap saja merengek dengan lengkingnya. Tak perduli aku sudah seharian lelah di kantor. Tak perduli kamu seharian menjaganya. Permata hati kita memang sedikit nakal. Agak egois dengan kemauannya. Tapi kita teramat sayang padanya. Teramat mencintainya. Dan kecintaan itu kini berubah menjadi suatu perasaan kasihan jika tak memenuhi permintaannya. Tapi hidungnya mirip denganku. Lihatlah mancungnya. Aku merasa sempurna diriku disana. Ya. Di hidung mancungnya.
”Mas, susu Arya habis.”
”Apa...? Empat hari yang lalu aku membelinya. Sudah habis?”
”Tiada tersisa, mas.”
”Arya seperti gentong saja. Susu hanya mampir dan kemudian memendar dalam tubuhnya yang putih.”
”Mas, anak kita bukan gentong. Anak kita kesatria. Wajar jika ia lain dengan anak seusianya.”
”Tapi bapaknya kaum Sudra. Mana mungkin memenuhi kebutuhan kaum kesatria.”
”Susuku sendiri hanya mampir tragis di penghujung dahaganya. Dan ketika Arya mulai merengek memintanya lagi, kejot-kejot payudaraku semakin terasa. Perih mas. Dan tak mengeluarkan susu lagi.”
”Oh…anak lelakiku. Kau belum juga besar. Kau belum juga kekar. Tapi layaknya kesatria. Aku tak pernah bisa untuk tidak menurutimu.”
”Seharusnya kita memang memberikan yang terbaik buat Arya.”
”Aku berusaha semampuku. Ini semua buat Arya.”
Arya kembali merengek tanpa dosa. Istriku mulai panik. Ia mengambil pemompa payudara. Ia banyak berharap susunya keluar lagi. Dan tidak lama kemudian memang benar. Susunya keluar dibarengi senyum meringis menahan kesakitan yang amat dalam. Dan Arya melumatnya dengan rakus. Aku keluar. Tak tega melihat istriku seperti itu.
Segalanya berubah hari ini tentunya. Tak jadi lebih baik. Malah semakin buruk. Dari tadi pagi perutku belum tersentuh nasi secuilpun. Begitu juga istriku. Uang makan kuhamburkan pada toko depan rumahku membeli susu yang semakin membuat Arya keranjingan memecutku. Memecutku untuk lebih bekerja keras membelikan susunya kembali.

`````
Pagi itu Arya sangat manis. Istriku mendadaninya seperti kesatria. Aku sangat ingin menggendongnya. Sayang istriku telah sigap membungkusnya dengan selendang dan menggendongnya. Kemudian berjalan ke arahku.
”Ayo mas, takut panas kalau terlalu siang.”
”Iya. Ayo.”
”Mas sudah menelepon bahwa hari ini kita akan ke rumah pak Rudy khan?”
”Sudah.”
”Aku hanya mengingatkan. Aku tahu kamu sering lupa dalam segala hal.”
”Jika buat Arya mana mungkin aku lupa.”

`````
Sepedaku mulai merambat melaju pelan. Di belakangnya istriku terdiam menikmati angin. Udara pagi hari ini sedikit tercemar dengan beberapa pick-up yang hilir mudik mengeluarkan asap pekat. Pick-up itu mengantarkan para petani menuju ke pasar. Menjual hasil jerih payahnya berbulan-bulan ke tengkulak. Aneka sayur-mayur yang cukup subur tumbuh di desa Kareng Lor membuat senyum petani benar-benar istimewa saat musim panen kali ini. Panen yang menguntungkan. Wajah para petani itu begitu kekal. Terpampang pada gurat wajahnya yang tak menua karena usia.
Aspal yang banyak berlubang membuka perjalanan pagi ini. Aku harus mengayuh sepedaku menuju ke desa Wonoasih. Dari sana lalu aku akan ke arah kiri menuju perumahan Prasaja Mulya di pinggir kota Probolinggo. Pak Rudy tinggal disana. Pak Rudy adalah kepala sekolah tempat aku bekerja. Aku hanya sebagai pembantu sekolah di tempat Pak Rudy. Ia sangat baik padaku dan karyawan-karyawan lain. Tak pernah membeda-bedakan.
Aku sangat tahu pak Rudy. Ia lulusan universitas terkenal di Jakarta. Bahkan gelar doktor baru ia terima dua bulan yang lalu. Wajahnya menarik walau telah berusia kepala empat. Istrinya seorang pegawai bank swasta. Masih terlihat menipu pada usianya yang juga kalau nggak salah 37 pada tahun ini. Banyak orang tidak percaya jika istri pak Rudy telah berumur dan menyangka usianya masih belia. Hidup mereka sangat berkecukupan tentunya. Sayang masih belum punya keturunan.

`````
”Oh pak Kardiyo. Bersama istri juga, tho.”
”Iya pak.”
Sesaat setelah sampai di depan rumah pak Rudy itu, ia mempersilahkan aku dan istriku duduk di serambi depan rumahnya yang asri. Ada kolam koi nyempil di pojok rumahnya. Sehingga langsung terpandang mata saat duduk di depan serambinya. Rumah itu kelihatan nyaman. Tak lama, istri pak Rudy keluar membawa minuman dan makanan ringan.
”Nggak usah repot-repot, Bu.” sapa istriku berbasa-basi mencairkan suasana.
”Ah nggak kok. Kebetulan ada, Bu Kardiyo.”
Lalu pak Rudy menatapku sebentar kemudian memulai pembicaraan.
”Bagaimana pak Kardiyo? Sudah dibicarakan dengan istri tentang niat kami?’
”Sudah pak.”
”Lalu?”
Aku menatap mata Arya yang terus berada di gendongan istriku. Ia tampak gagah bersembunyi di ketiak istriku. Kulitnya yang kuning tak menampakkan seperti anak dari keluarga yang hanya bermodal cukup. Cukup buat makan hari ini. Cukup untuk mbayar listrik kontrakan dan cukup untuk membeli keperluan yang pokok saja. Aku iri dengannya. Kenapa tidak aku saja yang tenggelam dalam ketiak istriku dan ia yang berbicara dengan pak Rudy.
”Pak Kardiyo…”
”Maaf pak, saya jadi melamun.”
’Tidak apa-apa. Bagaimana?”
Aku tiba-tiba tersentak dan entah keberanian dari mana sekonyong-konyong menuntunku berbicara pada pak Rudy.
”Maaf pak Rudy. Saya sudah merundingkan niat bapak dengan istri saya. Terus terang saya sangat berat untuk mengatakan ini kepada bapak.”
”Jangan sungkan pak Kardiyo.”
”Iya pak. Karena kebaikan bapak selama ini saya merasa sulit untuk membicarakan niat bapak kepada istri saya.”
”Ya, saya mengerti sepenuhnya.”
”Saya dengan tidak mengurangi rasa hormat menolak niat bapak untuk mengadopsi anak kami.”
Istriku terkejut. Jawabanku tak seperti yang ia duga. Sungguh sangat melenceng dengan perkataanku tadi malam. Bahkan istriku juga sudah mengijinkan Arya di adopsi pak Rudy. Tapi aku tahu. Aku sangat tahu istriku. Arya tidak menginginkan itu terjadi. Lihat hidung mancungnya. Sempurna milikku. Aku takkan tega ia jauh dariku. Aku akan memberinya susu terbaik dengan keringatku. Aku menjaganya dengan sepenuh jiwaku. Tidak istriku. Aku tidak rela jika Arya tidak memberi senyum padaku saat pagi hari ketika aku berangkat kerja. Biarlah istriku. Aku akan menjadi kerbau yang lebih keras lagi mencari pundi-pundi uang tambahan untuk membeli susu Arya.
Sebab hidung Arya mancung. Sempurna diriku di hidungnya. Tak seorangpun dapat memisahkannya dariku. Maafkan aku istriku. Tapi aku berjanji. Payudaramu tak akan kubiarkan perih saat dilumat Arya.

Tetep di kamarku
sejuta ide yang hanya menunggu waktu,
jam 4.30 kuselesaikan coretan ini.
Pagi yang indah.
Dan aku sendiri menahan kerinduan yang menyiksa.